Jalan Tikus Milenial Pada Petaka Demografi

CSSMoRA – Presiden Joko Widodo dalam salah satu pidatonya beberapa tahun yang lalu, sebagaimana diberitakan Kompas.com, membuat pernyataan bahwa bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Satu matanya adalah berkah, sedang satu lainnya adalah petaka. Pernyataan ini benar-benar menghantui semua negara. Memang, beberapa negara berhasil mendapat keuntungan besar dalam bonus demografi, namun beberapa lainnya harus menelan pahitnya petaka dari era bonus demografi, sebagaimana yang terjadi pada Brazil, Afrika Selatan, Venezuela, hingga Meksiko.

Pada awal tahun 1970-an, Brazil memasuki periode bonus demografi dan berakhir pada 2018 lalu. Brazil yang melewati masa bonus demografi tanpa persiapan tidak mampu membendung resesi ekonomi yang terjadi. Kondisi buruk tersebut bahkan membuat pemerintah Brazil lebih banyak menghabiskan sumber daya hanya untuk dana pensiun dan tidak menyisakannya untuk hal-hal yang lebih signifikan seperti akses pendidikan, kesehatan, hingga lapangan pekerjaan.

Lain dari Brazil, Afrika Selatan menghadapi permasalahan yang tak kalah pelik. Ketidakcukupan lapangan pekerjaan untuk menampung angkatan kerja yang tumbuh begitu pesat membuat angka pengangguran meledak. Penyebab utama hal ini terjadi karena ketidakcocokan antara lapangan kerja dengan kemampuan dan skill pekerja. Pemerintah Afrika Selatan jelas gagal dalam hal sinkronisasi kurikulum pendidikan dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja. Akibatnya pada tahun 2022 ini, World Population Review melaporkan bahwa Afrika Selatan yang merupakan penyelenggara Piala Dunia 2010 dan termasuk salah satu anggota G20, dalam era bonus demografinya, menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di dunia yang persentasenya mencapai 26,1%.

Kondisi bonus demografi yang diiming-iming sebagai peluang bagi suatu negara untuk melompat menjadi kaya ternyata terbukti membawa risiko yang sangat besar. Perumpamaannya selayak menyeberang sebuah jembatan berujung harta melimpah, tapi di bawahnya terdapat jurang yang sangat dalam. Bagaikan keniscayaan, peristiwa bonus demografi ini akan menimpa semua negara setidaknya sekali sepanjang sejarah, tak terkecuali Indonesia, dengan atau tanpa persiapan.

Bom Waktu Bonus Demografi Indonesia Pertengahan 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,77 juta jiwa. Angka ini bertambah sebanyak 1,13% jika dibandingkan dengan data pada pertengahan tahun 2021. Dari total penduduk, persentase penduduk berusia produktif mencapai 208,54 juta jiwa dan sisanya non-produktif. Dari sini, BPS menyatakan bahwa Indonesia telah berada tepat di ambang pintu masuk era bonus demografi pada kurun waktu hingga 2040 mendatang dengan prediksi total penduduk akan mencapai 297 juta jiwa.

Ada dua skenario terburuk dari bunos demografi yang akan melanda Indonesia. Pertama, sumber daya manusia akan melimpah dan tak terjamin berkualitas. Kedua, angka pengangguran yang semakin melonjak akibat ketatnya persaingan dalam memperebutkan lapangan pekerjaan yang sedikit. Dalam hal ini, BPS kembali mencatat bahwa pada Februari 2022, dari 208,54 juta jiwa usia produktif, hanya 144,01 juta jiwa yang termasuk dalam angkatan kerja. Sisanya adalah pengangguran yang setiap tahunnya semakin bertambah akibat kondisi bonus demografi dewasa ini. Dua skenario ini telah menjadi kenyataan pada negara Brazil dan Afrika Selatan, dan tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan mengalami hal yang sama.

Karenanya, hemat kami, memasuki era bonus demografi tidak berarti Indonesia akan mendapatkan bonus yang pasti adanya. Tetapi hanyalah peluang yang juga membawa risiko besar. Gagal memanfaatkan peluang tersebut, sekejap mata bonus demografi akan berubah menjadi bom waktu yang tinggal menunggu waktu kapan ia akan meledak.

Kaum milenial bersama generasi x dan z adalah yang paling terancam pada bom waktu bonus demografi. Itu disebabkan usia produktif dalam kurun waktu 2020-2040 didominasi oleh kaum milenial, diikuti oleh generasi z dan generasi x. Menyikapi hal ini, pemerintah menyadari bahwa hal paling penting agar berhasil melewati jembatan bonus demografi adalah dengan menjamin pendidikan bermutu terhadap sumber daya manusia. Karena itu, pemerintah meningkatkan anggaran negara setiap tahunnya untuk sektor pendidikan yang sejak 2016 hanya berjumlah 370,8 triliun rupiah, tahun 2022 ini bahkan mencapai 621,3 triliun.

Mungkin saja hal itu adalah salah satu kebijakan tepat yang diambil pemerintah dalam mengantisipasi ketidaksiapan sumber daya manusia dalam menghadapi era bonus demografi. Namun sebenarnya, tantangan paling berat dari bonus demografi tak lain adalah tidak cukupnya lapangan pekerjaan. Hal ini diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Pengembangan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy. Beliau bahkan menegaskan jika saja penduduk usia produktif tidak bekerja, saat mereka memasuki usia lansia, mereka tidak akan memiliki tabungan atau investasi, dan itu akan sangat menjadi beban negara. Masalah inilah yang membuat Afrika Selatan hanya menghabiskan anggaran negara untuk bantuan sosial dan dana pensiun.

Menyikapi hal ini, pemerintah mau tidak mau harus mencari cara untuk membuka lapangan kerja baru. Dengan begitu, meningkatnya tenaga kerja produktif dapat diimbangi dengan meningkatnya lapangan kerja pula. Namun ternyata membuka lapangan kerja bukanlah hal mudah untuk dilakukan oleh pemerintah. Sebab setidaknya diperlukan sekitar 3,6 juta lapangan kerja per tahun untuk angkatan kerja baru karena usia angkatan kerja akan bertambah setiap tahunnya. Ini adalah tantangan sulit bagi pemerintah, yang jika gagal, dalam kasus ini, kaum milenial menjadi taruhannya.

Kaum milenial tidak boleh tinggal diam saat dijadikan taruhan lantas menunggu pemerintah melakukan sesuatu dalam mengahadapi hal ini. Kaum milenial harus mencari jalan tikusnya sendiri alih-alih menunggu disediakannya 3,6 juta lapangan kerja per tahun oleh pemerintah. Sebagaimana namanya, “jalan tikus” berarti jalan yang dibuat sendiri guna menghindari ruas jalan yang macet. Milenial harus berinovasi bagaimana cara mendapatkan pekerjaan tanpa lapangan pekerjaan.

Sulitnya memiliki pekerjaan pada era demografi dewasa ini adalah hal yang harus dipahami oleh kaum milenial sebagai penduduk usia produktif. Menciptakan lapangan kerja sendiri adalah hal paling logis yang bisa ditempuh oleh milenial untuk tidak menjadi pengangguran dewasa ini. Dengan begitu, angka pengangguran akan menurun dan kaum milenial bisa melewati era bonus demografi Indonesia. Pendapatan perkapita pun akan meningkat serta visi Indonesia Maju 2045 perlahan dapat terwujud. Korea Selatan dan Jepang adalah negara yang –dengan persiapan yang matang– berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan baik dan mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Karena itu, kalau saja berhasil, Indonesia seharusnya bisa lebih maju dari Korea Selatan dan Jepang karena jumlah bonus demografi di Indonesia jauh lebih banyak dari kedua negara tersebut. Sebaliknya, jika Indonesia gagal, maka ancaman terbesar adalah aging population, di mana penduduk usia produktif akan mulai memasuki usia tua dan tidak memiliki tabungan atau investasi yang kemudian akan menjadi beban negara, sebagaimana apa yang terjadi pada Brazil dan Afrika Selatan.

Kontributor: Fadhil Mubarak Aisma, BSO Moragister Universitas Islam Malang

Gambar: Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *