
Dalam kajian psikologi, ilmu jiwa mempelajari fenomena kejiwaan yang tampak melalui perilaku manusia. Pendekatan ini fokus pada aspek batin manusia dengan menginterpretasikan perilaku yang terlihat. Dalam Al-Qur’an, aspek batiniah ini diwakili dengan istilah “Al-insan.” Berdasarkan penelitian Musa Asy’arie terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, istilah insan berhubungan erat dengan kehidupan manusia, termasuk dalam konteks belajar.
Kebahagiaan dalam psikologi dianggap sebagai aspek perspektif yang perlu hadir dalam setiap tahap kehidupan manusia. Kebahagiaan dapat dicapai saat seseorang melakukan tindakan yang benar dan sesuai dengan ajaran Ilahi, yang pada akhirnya berdampak pada akhlak seseorang, baik atau buruknya. Ilmu jiwa memungkinkan kita memahami kondisi psikologis manusia dalam keadaan bahagia atau sebaliknya. Jiwa yang bahagia, tenang, dan terkendali cenderung melahirkan akhlak yang baik dan terpuji. Sebaliknya, seseorang dengan jiwa yang tidak stabil biasanya sulit mengendalikan emosinya, yang berpotensi menghasilkan akhlak buruk. Dalam buku Wawasan Al-Qur’an oleh Quraish Shihab, beliau menyatakan bahwa walaupun manusia memiliki potensi untuk kebaikan dan keburukan, terdapat isyarat dalam Al-Qur’an bahwa kecenderungan manusia lebih condong pada kebajikan daripada kejahatan.
Kecenderungan manusia terhadap nilai-nilai kebaikan terbukti dengan adanya konsep moral yang serupa di berbagai peradaban dan zaman. Tidak ada peradaban yang menganggap baik tindakan seperti kebohongan, penipuan, atau kesombongan, dan semuanya mengakui penghormatan kepada orang tua sebagai hal yang baik. Namun, bentuk penghormatan ini mungkin berbeda antara masyarakat dan generasi. Selama perbedaan tersebut tetap berada dalam prinsip umum kebaikan, ia akan tetap diterima sebagai sesuatu yang baik (ma’ruf). Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengenali perbuatan baik dan buruk, walaupun pemahamannya dapat terbatas.
Ada perbuatan yang secara naluriah diketahui sebagai baik atau buruk, namun pengetahuan ini terbatas. Oleh karena itu, manusia memerlukan petunjuk dari Yang Maha Mengetahui untuk menyempurnakan pemahaman moralnya. Dalam Islam, sumber moral berasal dari akal dan potensi manusia yang kemudian disempurnakan melalui wahyu. Pemikiran teologi Mu’tazilah menunjukkan bahwa akal dan potensi rohaniah memungkinkan manusia mengenali sebagian kebaikan dan keburukan. Mereka berpendapat bahwa tanpa wahyu sekalipun, manusia dapat memahami bahwa mencuri itu buruk karena merugikan orang lain, atau bahwa menghormati orang tua itu baik karena peran mereka dalam kehidupan anak. Namun, mereka juga mengakui bahwa ada perbuatan yang tidak dapat diketahui baik atau buruknya tanpa wahyu, seperti pemahaman bahwa zina adalah dosa atau iman kepada kehidupan akhirat adalah baik. Dalam hal ini, wahyu menjadi panduan yang diperlukan, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan wahyu untuk melengkapi keterbatasan pengetahuan manusia.
Secara logis dan berdasarkan pengalaman pribadi, saat seseorang merasa bahagia, mereka cenderung memiliki suasana hati yang baik, yang juga memengaruhi akhlak mereka menjadi lebih baik. Misalnya, saat seseorang memenangkan suatu perlombaan, ia merasakan kebahagiaan khusus yang kemudian diwujudkan melalui perilaku positif seperti tersenyum, bersyukur, atau bahkan mentraktir teman-temannya. Kecenderungan manusia terhadap kebaikan terlihat dari adanya konsep moral dasar yang serupa di sepanjang perjalanan hidup, yang dalam hal ini diwujudkan melalui kebahagiaan. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa akal pikiran merupakan sumber moral dalam pembentukan akhlak manusia.
Sebaliknya, ketika seseorang berada dalam keadaan emosi yang tidak terkendali atau sedang tidak dalam kondisi baik, hal ini sering memicu amarah yang akhirnya berdampak pada akhlak yang buruk. Uraian ini berdasarkan pengalaman pribadi, dan semua yang dijelaskan tadi berasal dari pemikiran akal manusia. Penggunaan akal yang berlebihan dapat memunculkan sifat negatif seperti kepintaran yang disalahgunakan atau kecenderungan menipu, sedangkan penggunaan akal yang terlalu lemah dapat menimbulkan kebodohan atau ketidaktahuan. Oleh karena itu, penggunaan akal secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan akar munculnya akhlak tercela. Hal yang sama berlaku pada amarah yang berlebihan, yang bisa memicu sikap nekat tanpa memperhitungkan baik buruknya tindakan tersebut.
Pemikiran tentang akhlak ini pernah disampaikan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant, yang memiliki kedudukan tinggi dalam bidang filsafat moral, sebagaimana kedudukan Syaikh Ansari dalam bidang Ushul Fiqih kontemporer. Pemikiran akhlak yang diutarakan oleh Kant menyoroti potensi jiwa dan kemampuan moral seseorang.
Dalam psikologi, diketahui bahwa setiap tahap usia memiliki perbedaan karakteristik psikologis. Misalnya, balita cenderung memiliki sifat emosional dan manja. Pada masa kanak kanak, mereka lebih sering meniru perilaku yang diperoleh dari orang tua atau orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya, masa remaja menjadi fase yang menantang karena remaja mengalami kesulitan dalam mengontrol emosinya. Orang tua perlu memberikan pengawasan ekstra tanpa terlalu membatasi atau sepenuhnya melepaskan kendali karena pada masa ini, remaja dipengaruhi oleh banyak hormon yang memengaruhi perilaku mereka.
Pada tahap dewasa, seseorang mulai menemukan jati diri mereka dan merencanakan masa depan, apakah untuk memulai karier atau melanjutkan pendidikan. Tahap terakhir adalah masa orang tua, di mana seseorang memasuki peran sebagai ayah atau ibu, menghadapi berbagai tantangan dalam membangun rumah tangga seperti yang sering kita saksikan dalam kehidupan. Pada akhirnya, semua yang terkait dengan akhlak haruslah merujuk kepada ketentuan Allah SWT. Apa yang dinilai baik oleh Allah tentu merupakan kebaikan sejati dalam esensinya.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa potensi psikologis seseorang sangat berkaitan erat dengan akhlak yang terbentuk, di mana ilmu jiwa berperan penting dalam membangun fondasi akhlak yang kuat. Pada dasarnya, kita dapat mengatakan bahwa secara alami manusia memiliki potensi untuk berakhlak baik atau buruk, dan keduanya saling berhubungan erat. Dari sini, muncul pertanyaan tentang bagaimana kebiasaan yang terbentuk dari potensi psikologis dapat membentuk identitas seseorang, atau justru sebaliknya. Dalam hidup, sedikit hal yang dapat memberi perubahan besar kecuali dengan mengubah kebiasaan buruk dan mempertahankan kebiasaan baik yang ada.
Banyak orang gagal mempertahankan kebiasaan baik karena beberapa faktor, seperti usaha yang kurang maksimal atau tidak sepenuh hati, motivasi yang bersifat sementara, atau upaya mengubah kebiasaan dengan cara yang tidak tepat. Namun, ada pula orang yang berhasil mempertahankan kebiasaan baik secara konsisten dalam tindakan mereka. Semua ini sangat bergantung pada ilmu jiwa dan kondisi psikologis individu.
Dengan kata lain, ilmu jiwa memfokuskan penelitiannya pada berbagai aspek yang membentuk perilaku manusia, seperti keinginan, suara hati, daya ingat, pemahaman, dan kecenderungan terhadap kebiasaan. Semua aspek ini menjadi pendorong bagi manusia dalam bertindak dan berucap.
Nabila Khairani Marpaung (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim 2023)