
Hari itu langit terlihat lebih kelabu dari biasanya, seakan mencerminkan perasaanku yang sedang mendalam. Aku berdiri di depan rumah sederhana kami, melihat ibu sedang duduk di kursi tua di teras, menatap kosong ke depan. Meskipun wajahnya tampak tenang, matanya yang sayu itu mengisyaratkan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang mungkin aku sendiri tak pernah benar-benar mengerti.
Aku masih ingat betul bagaimana dulu ibu selalu tersenyum saat aku pulang sekolah. Wajahnya yang lelah setelah seharian bekerja, tetapi senyumannya selalu bisa menghapus lelahku. Dia seperti sumber kekuatan dalam hidupku. Ibuku, selalu berusaha memberi yang terbaik untukku meski hidup kami tidak pernah mudah.
Tahun demi tahun berlalu, dan kehidupan kami semakin keras. Ibu bekerja sebagai penjual gorengan dan makanan-makanan yang banyak disukai oleh orang-orang, sementara aku bersekolah dan mencoba mengejar cita-citaku. Aku tahu, kalo kami tidak punya banyakuang. Tapi ibu selalu bilang, “Kita punya satu sama lain, itu sudah lebih dari cukup.” Dan aku percaya, waktu itu, bahwa dengan cinta dan kebersamaan, kami bisa mengatasi segalanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ibu mulai berubah. Senyumnya yang dulu begitu cerah, kini hanya muncul sesekali, terkadang bahkan tidak sama sekali. Ia lebih sering termenung, sering mengeluh tentang sakit di tubuhnya yang tidak kunjung sembuh. Aku mencoba menanyakan, “Bu, kenapa nggak periksa ke dokter?” Tapi ibu hanya menjawab dengan senyum pahit, “Nanti saja, Nak. Ibu masih bisa tahan.”
Aku tidak pernah tahu apakah ibu benar-benar merasa sakit, ataukah ia berusaha menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. Tapi satu hal yang aku tahu, adalah aku semakin sering menemukan ibu duduk sendiri di teras, memandang jauh ke depan, seolah sedang mencari jawaban dari hidup yang tidak pernah memberi kepastian.
Sampai akhirnya, suatu sore yang tak akan pernah aku lupakan, ibu jatuh pingsan di ruang tamu. Aku panik, berlari ke sisinya, memanggil namanya, mengguncangnya, tapi ia tak sadar. Hatiku berdebar kencang, dan aku segera membawa ibu ke rumah sakit. Di sana, dokter mengatakan bahwa ibu sudah terlalu lama menahan sakitnya, dan kondisinya sudah cukup parah. Kanker yang selama ini tersembunyi akhirnya terdeteksi—stadium akhir.
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Aku merasa seperti semuanya runtuh di sekelilingku. Ibu yang dulu selalu kuat, yang selalu menjadi sandaranku, kini terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Aku tidak bisa mengerti mengapa ini harus terjadi pada ibu. Ibu yang selalu memberiku segalanya, sekarang hanya bisa terbaring dan menunggu waktu yang terus berjalan.
Hari-hari di rumah sakit menjadi kenangan pahit yang tak bisa aku lupakan. Aku menggenggam tangan ibu yang semakin dingin, berharap waktu bisa berhenti, berharap bisa memutar kembali semua kenangan indah kami. Aku tahu, ibu akan segera pergi, dan aku tidak siap kehilangan orang yang selama ini menjadi dunia bagiku.
Pada suatu malam, ibu membuka matanya perlahan, dan menatapku dengan tatapan penuh kasih. “Nak,” katanya dengan suara lemah, “ibu minta maaf kalau belum bisa jadi yang terbaik buatmu.” Aku menggenggam tangannya lebih erat, menahan air mata. “Ibu, kamu sudah lebih dari cukup,” jawabku dengan suara tercekat. “Aku mencintaimu, ibu.”
Ibu tersenyum, senyuman yang jarang aku lihat belakangan ini. Senyuman yang, meskipun lemah, terasa seperti pelukan hangat yang menenangkan. “Jaga dirimu baik-baik yah nak. Jangan biarkan hidupmu berhenti di sini. Ibu ingin melihat kamu bahagia.”
Itulah kalimat terakhir yang ibu ucapkan sebelum akhirnya tidur untuk selamanya. Aku duduk di sampingnya, menatap wajahnya yang kini tenang, tanpa rasa sakit. Saat itu, aku tahu, ibu sudah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Aku masih ingat hari pemakaman ibu. Aku berdiri di sana, menatap pusara ibu yang baru saja tertutup tanah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu kesepian. Dunia yang dulu penuh dengan tawa ibu kini terasa kosong, dan aku merasa kehilangan separuh diriku.
Namun, di tengah kesedihan itu, aku tahu ibu ingin aku terus melangkah. Ia ingin aku mengejar mimpi-mimpiku, dan menjalani hidupku dengan penuh keberanian, seperti yang ia ajarkan padaku selama ini. Ibu mungkin sudah pergi, tapi cintanya akan selalu ada di dalam diriku. Dia bukan hanya ibu yang aku miliki, tetapi ibulah sumber kekuatanku.
Meskipun aku tahu, tidak ada lagi yang bisa menggantikan ibu, aku juga tahu satu hal: Aku akan terus membawa namanya, cintanya, dan segala yang telah dia ajarkan dalam setiap langkah hidupku. Dan meskipun tubuh ibu sudah tiada, hatinya akan selalu ada, bersemayam dalam setiap kenangan dan setiap detik yang aku jalani.
AKU RINDU IBU
COME BACK AGAIN MOM,
Dania Ramadani (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim 2023)