Di sebuah aula sederhana di tengah kota pelajar, belasan mahasiswa bersarung dan gamis nan indah sedang duduk melingkar. Di hadapan mereka terbuka buku-buku filsafat Islam, jurnal ilmiah, dan laptop dengan layar berpendar. Mereka bukan santri biasa tetapi Mereka adalah bagian dari CSSMoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs ), sebuah komunitas intelektual muda yang lahir dari rahim pesantren dan tumbuh di tengah perguruan tinggi ternama yang ada di Indonesia.
CSSMoRA lahir bukan sekadar komunitas biasa. Ia adalah manifestasi dari visi besar Kementerian Agama Republik Indonesia untuk menjembatani santri dengan dunia akademik modern. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), para alumni pesantren yang memiliki potensi luar biasa diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi di kampus – kampus unggulan. Namun lebih dari itu, CSSMoRA hadir sebagai wadah pembinaan, pengembangan, dan pengabdian.
Ibrahim ialah salah satu anggota CSSMoRA dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, beliau mengingat betul bagaimana komunitas ini mengubah hidupnya. “Saya berasal dari pesantren kecil yang berada dipedalaman desa. Dulu saya tidak pernah membayangkan bisa kuliah di Unwahas, apalagi berdiskusi dengan profesor atau menulis dan akan diterbitkan pada Web nasional,” katanya “Tapi melalui CSSMoRA, saya belajar bahwa santri tidak hanya bisa mengaji, tapi juga bisa meneliti, berdiskusi, dan menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.”
CSSMoRA bukan hanya soal prestasi akademik, namun di balik segala kegiatan diskusi ilmiah, kajian kitab kuning, hingga seminar kebangsaan, tersembunyi semangat pengabdian yang luar biasa. Anggota CSSMoRA rutin turun ke desa, mengajar anak-anak mengaji, membantu UMKM pesantren, hingga menjadi relawan bencana. Semangat itu tak lepas dari nilai-nilai pesantren yang mereka bawa yaitu tentang keikhlasan, kesederhanaan, dan pengabdian tanpa pamrih.
Namun, perjalanan CSSMoRA tidak selalu mulus. Tantangan datang dari banyak arah muali dari kesenjangan budaya kampus dan pesantren, tekanan akademik, hingga stereotip bahwa santri tak cukup “Modern” untuk bersaing di perguruan tinggi. Tapi di situlah keunikan dari CSSMoRA. Mereka tidak berusaha menghapus identitas ke-santri-an mereka. Sebaliknya, mereka menjadikannya sebuah kekuatan. “Justru karena saya santri, saya belajar sabar. Karena saya santri, saya terbiasa hidup mandiri. Karena saya santri, saya punya pijakan moral yang kuat,” ujar Sakinah, anggota CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Kini, dua dekade lebih sejak program ini dimulai, CSSMoRA telah mencetak ribuan alumni yang tersebar di berbagai sektor akademisi, birokrasi, aktivis sosial, hingga pengusaha. Mereka hadir sebagai jembatan antara dunia pesantren dan masyarakat luas, membawa nilai-nilai Islam yang moderat, toleran, dan progresif.
Di akhir pertemuan malam itu, Mamad menutup buku tafsir dan menatap kawan- kawannya. “Kita mungkin bukan siapa-siapa sekarang. Tapi ingat, api kecil dari pesantren, bisa jadi nyala besar dan akan menerangi bangsa.”
Dan begitulah CSSMoRA berjalan. Bukan sebagai komunitas eksklusif, tapi sebagai gerakan sunyi yang menyebarkan cahaya di tengah zaman yang kadang kelam.
Disclaimer Catatan : Tokoh-tokoh dalam cerita ini bersifat fiktif dan digunakan untuk
menggambarkan semangat dan peran nyata anggota CSSMoRA.
Dania Ramadani (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim Semarang 2023)