Hanya Rindu yang Hanya Sebatas Al-Fatihah

Malam itu, hujan turun rintik-rintik, membasahi tanah di pemakaman. Rasyid berdiri di depan nisan ibunya, membiarkan air mata bercampur dengan gerimis yang turun. Ia meremas tasbih di tangannya, suaranya lirih saat melafalkan Al-Fatihah.

Sejak kecil, ibunya adalah dunianya. Hanya ibunya yang peduli padanya, yang selalu ada di sisinya. Ayahnya? Ia selalu sibuk dengan dirinya sendiri. Bahkan ketika ibunya sakit keras, ayahnya seolah tidak peduli. Rasyid hanya bisa melihat ibunya berjuang sendirian, menahan sakit, tapi tetap tersenyum saat ia pulang dari pesantren.

“Dulu Ibu kuat demi kamu, Nak,” kata ibunya suatu hari, saat tubuhnya mulai melemah. “Ibu ingin lihat kamu jadi orang sukses.”

Tapi Rasyid terlalu naif. Ia pikir ibunya akan selalu ada, bahwa masih banyak waktu untuk membalas semua kasih sayang itu. Hingga akhirnya, ia pulang dan menemukan ibunya sudah pergi untuk selamanya.

Sejak hari itu, dunia terasa kosong. Tak ada lagi tempat untuk mengadu. Tak ada lagi tangan yang mengusap kepalanya, atau suara lembut yang menenangkannya. Ayahnya tetap sama-dingin dan jauh. Bahkan saat pemakaman, ayahnya hanya diam tanpa ekspresi, seakan kehilangan itu bukanlah hal besar.

Setelah lulus dari pesantren, Rasyid tahu ia harus pergi. Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah. Tak ada yang bisa ia pegang di sana. Maka ia merantau, pergi ke sebuah universitas di Jawa, mencoba mencari tempat baru untuk berpijak.

Namun, sejauh apa pun ia pergi, rindu itu tetap ada. Setiap malam, ia masih terbangun dengan mata basah, masih berharap bisa mendengar suara ibunya sekali lagi. Tapi yang tersisa hanyalah Al-Fatihah, doa yang ia lantunkan setiap hari, satusatunya cara untuk menyampaikan rindunya.

Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ibunya tahu betapa ia merindukannya? Apakah ibunya mendengar doanya? Yang pasti, meski dunia terasa sepi, Rasyid tahu satu hal-ibunya tetap hidup dalam setiap ayat yang ia baca, dalam setiap langkah yang ia tempuh demi memenuhi harapan terakhirnya.

Ia tidak sendiri. Selama ada Al-Fatihah, ia selalu punya cara untuk pulang.


,,,,,,,,,,,,,,,,,
Dari kisah Rasyid, kita belajar bahwa kasih sayang seorang ibu adalah hal yang paling berharga di dunia. Terkadang, kita terlalu sibuk dengan kehidupan hingga lupa memberikan waktu dan perhatian kepada orang yang paling mencintai kita. Kita juga belajar bahwa kehilangan adalah hal yang tidak bisa dihindari. Namun, doa dan kenangan bisa menjadi penghubung antara hati yang masih di dunia dan jiwa yang telah berpulang. Rasyid mungkin merasa sendiri, tetapi selama ia masih mengingat dan mendoakan ibunya, ia tidak benar-benar kehilangan sosok itu. Selain itu, cerita ini mengajarkan bahwa tidak semua orang tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih.
Namun, keterbatasan itu bukan alasan untuk menyerah. Hidup harus terus berjalan, dan setiap perjalanan adalah kesempatan untuk menemukan tempat baru yang bisa disebut “rumah.” Yang terpenting, jangan menunggu hingga terlambat untuk menunjukkan cinta. Selama ibu masih ada, peluklah, hargailah, dan bahagiakan dia. Karena jika tidak, kelak rindu itu hanya akan sebatas Al-Fatihah.


Arif Maulana (

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *