Sampahmu, Hidupku

foto: @gerak_alam

Malam itu, Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Udara menusuk kulit, dan suasana di
sekitar kos teman saya, yang berada di depan Universitas Gunung Jati, begitu sepi. Jarum jam
sudah menunjuk angka 12, tetapi perut saya yang kosong memaksa saya keluar untuk mencari
makan. Dengan langkah pelan, saya menyusuri lorong sempit di samping kos, berharap
menemukan warung atau pedagang yang masih buka.


Di depan sebuah toko, pandangan saya tertuju pada pemandangan yang membuat langkah saya
terhenti. Seorang pemulung duduk di atas trotoar bersama istri dan seorang anak kecil yang
tertidur pulas di pangkuan ibunya. Di samping mereka, sebuah gerobak penuh dengan
tumpukan botol plastik, kardus, dan barang-barang bekas lainnya terparkir. Lampu toko yang
temaram menyorot wajah lelah sang pemulung, namun ada ketenangan dalam kebersamaan
mereka.


Saya berdiri diam sejenak, memandangi keluarga kecil itu. Hati saya seperti diremas. Sebagai
seseorang yang tumbuh dalam keluarga sederhana, saya memahami betapa sulitnya berjuang demi hidup. Namun, melihat mereka yang hidup jauh lebih keras dari saya, saya merasa iba sekaligus tergerak untuk mendekati mereka.

Saya menghampiri pria itu, yang sedang menyesap segelas kopi hitam dalam gelas plastik. “Maaf, Pak. Lagi istirahat, ya?” tanya saya dengan suara pelan.


Dia menoleh, tersenyum ramah, lalu mengangguk. “Iya, Nak. Baru selesai keliling tadi. Ini sekalian mau nunggu istri sama anak istirahat sebentar.”


Percakapan kami pun dimulai. Saya bertanya tentang kehidupannya, apa yang membuatnya memilih menjadi pemulung, dan bagaimana ia menjalani hari-harinya. Dengan nada yang tenang, ia bercerita bahwa setiap hari ia bersama istrinya berkeliling mengumpulkan sampah dari pagi hingga malam. Botol plastik, kardus, dan barang bekas lain yang ia kumpulkan dijual ke pengepul. Pendapatannya tak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun, ia bersyukur karena itu cukup untuk membuat keluarganya tetap bertahan.


“Saya tahu banyak orang jijik sama pekerjaan saya,” katanya sambil tersenyum tipis. “Tapi, Nak, dari sampah-sampah ini, saya bisa hidup. Sampah orang lain itu rezeki saya. Karena itu saya selalu bilang, sampahmu, hidupku.”

Kalimat itu membuat saya tertegun. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam ucapannya. Ia tak
marah pada dunia yang memberinya kehidupan keras. Ia tak menyalahkan orang-orang yang
sering memandang rendah pekerjaannya. Justru ia bersyukur, karena dari hal yang orang lain
anggap hina, ia bisa memberi makan keluarganya.

Saya menoleh ke arah istrinya, yang saat itu sedang membetulkan selimut untuk anak kecil mereka. Ada kehangatan dalam keluarga kecil itu yang membuat saya merenung. Meski dalam kesederhanaan yang begitu mendalam, mereka tetap memiliki cinta dan kebersamaan yang utuh.

Saya akhirnya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet saya dan memberikannya pada pria itu. “Ini, Pak. Semoga bisa sedikit membantu,” ujar saya. Ia menolak dengan sopan, tapi setelah saya meyakinkannya, ia menerimanya dengan rasa terima kasih yang begitu tulus. “Terima kasih, Nak. Semoga rezekimu dilancarkan,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Malam itu, saya pulang ke kos teman saya dengan hati yang berat. Saya terus memikirkan keluarga kecil itu dan bagaimana mereka tetap bersyukur di tengah hidup yang penuh perjuangan. Kalimat “sampahmu, hidupku” terus terngiang di kepala saya. Di dunia ini, ada banyak hal yang sering kita anggap remeh, seperti sampah. Namun, bagi sebagian orang, itu adalah sumber kehidupan.

Pengalaman itu menjadi pelajaran besar bagi saya. Kebaikan hidup tidak selalu diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, melainkan dari seberapa besar kita mampu bersyukur dan melihat harapan dalam setiap keadaan. Keluarga pemulung itu mengingatkan saya bahwa hidup bukan tentang apa yang kita buang, tetapi tentang bagaimana kita memberi makna pada setiap hal, bahkan yang dianggap tak berguna oleh orang lain.

Malam itu, di lorong kecil di Bandung, saya tidak hanya bertemu dengan seorang pemulung, tetapi juga belajar tentang keteguhan, cinta, dan rasa syukur dari keluarga kecilnya. “Sampahmu, hidupku” bukan hanya tentang perjuangan mereka, tetapi juga tentang bagaimana mereka menginspirasi saya untuk lebih menghargai hidup.

Penulis: Arif maulana – Universitas Nahdlatul ulama Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *