Hujan turun lagi sore itu, entah sudah yang keberapa kali di penghujung bulan februari. Rinai rinai nya membasahi segala hal di bawah langit, membuat Sebagian orang merutuki hujan yang tengah turun. Beberapa orang terlihat menerobos hujan yang kian deras, kepalang tanggung basah mungkin, pikir mereka.
Seorang anak dengan pakaian khas sekolah dasar duduk diam di halte, menatapi hujan yang menggemericik mengenai atap halte yang dijadikan tempatnya duduk sedari tadi, jauh sebelum hujan dengan deras menghantam seisi kota itu. Beberapa orang terlihat ikut meneduh di halte ukuran 5 x 7 meter tersebut, memenuhi area yang sekiranya tidak terkena tempias hujan.
“Entah kapan akan reda hujan selebat ini.” Gumam seorang pria paruh baya tak jauh dari tempat anak itu duduk. Anak itu menoleh sebentar kearah pria paruh baya tersebut, lalu Kembali asyik mengamati hujan yang turun.
“Sudah yang kelima kali pekan ini, padahal ini baru hari rabu. Kalau begini kapan cucianku akan kering.” Perempuan berdaster merah kecoklatan melepas helm sembari merutuki hujan yang membasahi seluruh pakaiannya.
“Yahh mau bagaimana lagi pak, bu. Bulan bulan ini memang musim hujan, apa yang bisa kita harapkan dari cuaca begini.” Seorang pemuda tanggung dengan setelan kemeja rapi dengan tas tersampir di bahu kanannya menimpali, sembari menatap khidmat hujan yang turun. Pemuda tersebut datang tak lama setelah beberapa rintik turun, seolah tau akan lebat, ia memilih untuk tak melanjutkan perjalanannya dan menemani anak berseragam sd di halte itu jauh sebelum yang lain datang ke sana.
“Apa ada hikmah dibalik turunnya hujan selebat ini ? bukannya membuat lega, yang ada hanya membuat repot saja.” Ibu ibu berdaster merah bertanya skeptis. Tentu saja itu hanya pertanyaan yang didasari rasa dongkol karena hujan sedari 45 menit lalu tak berhenti, bahkan untuk meredup pun tidak sama sekali.
“Ah jangan berpikir seperti itu bu. Itu sama saja ibu mempertanyakan wewenang tuhan, bukan?” pemuda itu menjawab tanpa menoleh. Malahan anak kecil berseragam itu yang menoleh, tertarik denga napa yang baru saja keluar dari mulut pemuda tersebut. “ibu bayangkan saja, berapa banyak nasi yang kita makan setiap hari, jika bukan karena hujan, mustahil para petani bisa menanam padi untuk kita kan?” lanjut pemuda itu lagi.
Perempuan berdaster merah tersebut terdiam, membenarkan dalam hati. Percakapan berhenti, orang orang di halte sibuk dengan pikirannya masing masing tentang hujan, entah bagaimana mereka menafsirkan kegunaan hujan yang turun sore ini.
Pukul 5 lebih seperempat, hujan akhirnya menyerah, meredup bersamaan dengan matahari yang akan tergelincir sore itu. Beberapa yang tadinya berteduh di halte itu mulai bubar, menyisakan anak laki laki berseragam dan pemuda tanggung berseragam rapi, sedang menatap pegunungan di kejauhan yang tertutup kabut yang turun selepas hujan. Sementara anak berseragam tersebut menatap sisa sisa tetes hujan yang turun dari sela sela saluran air dengan penuh harap.
Hujan selalu membawa hal hal yang tidak bisa diungkapkan, tak hanya tentang air, namun juga keresahan, suka cita, kenangan, atau perasaan lain yang sulit dilepaskan. Masing masing orang memiliki persepsi berbeda, pandangan dan cara pikir yang tak serupa, tak terkecuali tentang hujan.
“kau tak pulang dik?” Pemuda tanggung itu untuk pertama kalinya sejak ia tiba di halte tersebut menyapa anak itu.
“aku sedang menunggu jemputan” jawab anak itu tanpa menoleh.
Pemuda itu tersenyum.”kau suka sekali dengan hujan ya? Sedari tadi kuperhatikan kau menikmati sekali saat hujan turun dengan lebat. Bahkan saat kuajak berbincang kau tak alihkan pandangmu sedikitpun dari tetes hujan?”
Anak itu menggeleng kecil.” Aku menunggu Pelangi, paman. Aku tadi belajar di sekolah kalau Pelangi akan muncul setelah hujan. Ibu sebelum pergi berkata bahwa ia akan selalu ada di saat Pelangi muncul.”
Anak itu menatap pemuda itu polos.”Apa setelah hujan akan selalu ada Pelangi paman? Aku rindu ibu. Aku sudah menunggu lima hujan di pekan ini, tapi tak ada pelangi yang muncul.”
Pemuda itu terenyuh. Disaat yang lain merutuki hujan yang sering turun bulan ini, anak ini justru menunggunya, bukan semata menunggu hujan, namun anak itu menunggu apa yang terjadi setelahnya. Bahkan orang dewasa belum tentu mengerti hal hal yang anak kecil pikirkan, tak sesederhana itu nyatanya.
Anak itu Kembali menatap sisa sisa hujan dengan penuh harap. Apa Pelangi akan muncul? Apa kerinduan pada ibunya akan terobati?
Hanya dia dan hujan yang tau jawabannya.
Muhammad Fatih CSSMoRA Unwahas 2024