Nabi Muhammad Saw. adalah seorang mursyid sejati yang membimbing umat manusia. Ia adalah pelita di tengah kegelapan dan bagaikan rembulan bercahaya di gelapnya malam. Allah berfirman, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Dan untuk menjadi penyeru kepada Allah dengan izin-Nya, serta sebagai cahaya yang menerangi” (QS. Al-Ahzab [33]: 45-46).
Beliau adalah bulan purnama yang memancarkan belas kasih, menebar kasih sayang ke segala penjuru. Dalam jiwa dan raganya hanya tersimpan rasa kasih sayang. Sebagaimana Allah Swt. menyanjungnya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Rasulullah pun bersabda, “Wahai umat manusia, aku adalah anugerah kasih sayang yang dihadiahkan kepada kalian.”
Sungguh mulia Nabi kita Muhammad Saw., namun sangat disayangkan sebagian ‘alim dari Ahlul Kitab sejak awal tidak bisa menerima kenyataan ini dan tidak pernah memandang perkara ini dengan adil. Mereka mendidik para orientalis yang menghasilkan berbagai karangan terkenal yang justru membingungkan kita, umat Muslim, dalam memahami Sirah Nabawiyah secara komprehensif. Adakalanya mereka mempertanyakan mengapa Rasulullah menikahi banyak istri atau mengapa beliau menikahi Aisyah yang masih muda. Ada pula yang mengangkat isu tentang betapa banyaknya peperangan yang diikuti beliau.
Mengapa kitab sirah yang sering kita baca seakan hanya mengisahkan Nabi Muhammad dari satu perang ke perang lainnya? Di sini, seolah-olah setiap lini kehidupan Rasulullah hanya berkutat pada peperangan. Dr. Rasyid Haylamaz menyampaikan bahwa selama 23 tahun masa kenabiannya, atau dalam 8.000 hari masa risalahnya, Rasulullah Saw. hanya mengayunkan pedang selama tidak lebih dari 13 jam, sedangkan masa yang beliau gunakan untuk menghadapi musuh hanya berjumlah 75 hari. Dr. Haylamaz menambahkan, “Lalu, apa yang dilakukan oleh sosok agung karena akhlaknya selama 7.925 hari masa kenabiannya?” Mengapa pembahasan tentang apa saja yang beliau lakukan dalam sisa hari tersebut tidak sepopuler kisah-kisah perang?
Padahal, kaidah-kaidah cemerlang yang beliau bawakan, nilai-nilai akhlak yang layaknya berlian, serta hakikat-hakikat kehidupan yang beliau ajarkan, semuanya memiliki kedalaman luar biasa. Pengetahuan yang beliau sampaikan menghapus kebingungan, hukum-hukum yang beliau tegakkan merapikan dunia perdagangan, dan nilai-nilai kebajikan lainnya mencerahkan peradaban.
Sayangnya, banyak penulisan Sirah Nabawiyah pada zaman dahulu lebih berfokus pada kisah-kisah heroik peperangan. Metode penulisan ini secara tidak langsung memberikan citra negatif tentang kehidupan Rasulullah Saw. dan menggiring opini yang tidak kita inginkan. Tanpa disadari, Rasulullah dianggapsebagai figur yang suka berperang.
Metode penulisan ini sebenarnya dipengaruhi oleh tradisi bangsa Arab yang telah mengakar pada saat itu, yaitu tradisi yang menjadikan kisah heroik sebagai pusat perhatian. Euforia kemenangan dalam pertempuran serta kebanggaan atas penobatan pemimpin yang menang menjadi tema utama dalam syair dan orasi mereka. Beberapa karya yang menggunakan metode ini adalah Kitab Al-Maghozi karya Aban bin Utsman bin Affan, Kitab Al-Maghozi karya Amir bin Syurahbil Al-Hamdani, Kitab Al-Maghozi karya Wahab bin Munabbih, dan masih banyak lagi.
Sebagai Muslim, kita harus lebih teliti dalam membaca dan memahami Sirah Rasulullah Saw. Kita tidak bisa hanya menyimpulkan makna secara tekstual, tetapi harus memaknainya dengan lebih komprehensif. Saat ini, banyak kitab Sirah Rasulullah yang menjelaskan keagungan beliau dari berbagai sudut pandang, yang menyajikan sifat-sifat agung beliau dalam setiap peristiwa. Beberapa karya tersebut adalah Fiqh Sirah karya Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Syamsu ar-Rahmah Allati Anaarat Dzalaam al-Qulub karya Dr. Rasyid Haylamaz, Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Humaniora karya Dr. Ajid Thohir, serta Sirah Rasulullah karya Ali Muhammad As-Shalabi.
Dengan membaca sirah secara lebih luas dan mendalam, kita akan lebih memahami bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah pembawa kedamaian, bukan nabi yang gila perang.
Abduh Zamzami (CSSMoRA Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta 2022)