Meneladani Kesabaran dan Ketawadhuan Rasulullah

Rasulullah SAW adalah pemimpin umat yang sangat dihormati, bahkan cendekiawan Barat, Michael H. Hart, mencatatnya sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia. Meskipun demikian, beliau menjalani hidup dengan sangat sederhana. Siapa sangka, sosok yang begitu dihormati ini lebih memilih menjahit sendiri pakaian yang robek daripada membeli yang baru.

Diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah, suatu ketika Siti ‘Aisyah RA pernah ditanya, “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah SAW saat di rumah?” Aisyah menjawab, “Beliau biasa menjahit pakaiannya yang robek dan memperbaiki tali sandalnya yang putus sendiri.”
Sifat tawadhu ini adalah contoh yang seharusnya kita tiru dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi pribadi yang berkarakter seperti Rasulullah. Banyak kisah ketawadhuan beliau yang patut kita catat dan teladani.

Salah satu contoh ketawadhuan Rasulullah adalah ketika beliau pergi ke pasar. Rasul tidak pernah meminta orang lain untuk membawakan barang belanjaannya. Bahkan, pernah seorang sahabat berniat membantunya membawa barang bawaan, namun Rasul menolaknya. Bukan karena sombong, tetapi karena sifat rendah hati yang beliau miliki.

Selain itu, Rasulullah sering membantu pekerjaan rumah tangga dan tidak jarang melipat pakaiannya sendiri. Pernah diceritakan, ketika Rasulullah dan para sahabatnya ingin memasak kambing, mereka membagi tugas. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku yang memotong lambung kambing itu,” sementara sahabat lain berkata, “Aku yang akan menguliti kambingnya.” Rasulullah pun menanggapi, “Kalau begitu, aku akan mencari kayu bakarnya.” Para sahabat langsung menolak dan berkata, “Tidak perlu, ya Rasulullah. Engkau cukup duduk saja, biar kami yang menyiapkan semuanya.” Namun, Rasul menjawab, “Aku tahu kalian tidak akan membiarkanku membantu, tetapi aku tidak suka diperlakukan berbeda dari kalian. Allah membenci seseorang yang ingin tampil berbeda di antara teman-temannya.”

Dari kisah ini, kita belajar bahwa menjadi pemimpin bukan berarti seseorang merasa lebih tinggi dari yang lain. Rasulullah menegaskan bahwa yang membedakan satu orang dengan yang lain adalah kualitas takwanya, bukan kedudukan sosialnya. Mengenai keutamaan sifat tawadhu, Rasulullah pernah bersabda:

مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ، وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللَّهُ
“Siapa yang rendah hati karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya, dan siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Abu Nu‘aim)

Ada juga kisah menarik mengenai ketawadhuan Rasulullah di Madinah, di mana seorang wanita tua buta yang ditugaskan orang kafir mencaci Rasul setiap kali beliau lewat di jalan. Meski dicaci setiap hari, Rasul tidak pernah marah. Sebaliknya, beliau sering datang ke rumah wanita itu tanpa sepengetahuannya untuk menyuapkannya bubur. Ketika Rasulullah berhalangan menyuapi, Abu Bakar Ash-Shiddiq menggantikan beliau. Namun, wanita buta itu menyadari bahwa orang yang menyuapinya berbeda dan bertanya, “Siapakah engkau? Apakah engkau orang yang biasa menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Bukan, aku sahabatnya.” Wanita itu terkejut ketika mendengar bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah Rasulullah, yang selalu ia caci dan hina. Setelah mengetahui hal ini, wanita itu bertaubat dan menyatakan keislamannya.

Dari kisah-kisah ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa sifat tawadhu dan kesabaran merupakan moral yang penting bagi setiap Muslim. Sifat ini tidak akan menurunkan martabat seseorang, tetapi justru akan memuliakannya di mata manusia dan di sisi Allah SWT.


Muhammad Abdul Ma’ruf Ali (CSSMoRA Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *