Santri Sebagai Motor Penggerak Perubahan Sosial

Santri dan pesantren merupakan dua elemen penting dalam sejarah dan perkembangan Islam di Indonesia. Secara etimologi, “santri” berasal dari bahasa Sanskerta “shastri” yang berarti seseorang yang belajar kitab-kitab agama. Menurut KBBI, kata “santri” memiliki dua pengertian, yaitu: orang yang mendalami agama Islam, dan orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Santri pada umumnya didefinisikan sebagai seseorang yang belajar di pesantren mengenai ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, tasawuf, dan akhlak. Pesantren sendiri adalah lembaga pendidikan yang telah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi fondasi utama penyebaran Islam di Indonesia.

Selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga berperan sebagai pusat pengembangan moral, sosial, dan budaya masyarakat bagi para santrinya. Kemampuan santri sebagai agen perubahan sosial tidak terlepas dari karakteristik pendidikan pesantren yang fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Pendidikan pesantren yang mengedepankan pembentukan karakter moral dan intelektual menjadikan santri sebagai individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga kritis, kreatif, dan berdaya saing dalam berbagai bidang kehidupan.

Melalui pendidikan di pesantren, santri diajarkan untuk senantiasa menghargai perbedaan agama, budaya, dan pandangan. Dalam penyelesaian konflik, santri dianjurkan untuk selalu mengedepankan dialog sebagai metode penyelesaian. Selain itu, semangat gotong royong yang diajarkan di pesantren memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Gotong royong, yang menekankan kerja sama, tolong-menolong, dan solidaritas sosial, membuat santri selalu berkontribusi secara aktif dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian, santri tidak hanya berperan sebagai pembelajar agama, tetapi juga sebagai agen yang memperkuat nilai-nilai kebangsaan, membangun harmoni sosial, dan mempromosikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Dalam bidang pendidikan, santri memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, banyak kiai dan ulama dari kalangan santri yang mendirikan pesantren dengan kurikulum yang menggabungkan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Contohnya adalah Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, yang didirikan oleh KH. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zainuddin Fananie pada tahun 1926. Pesantren ini kemudian berkembang menjadi model pendidikan yang menginspirasi banyak lembaga pendidikan lainnya di seluruh Indonesia. Selain itu, banyak kalangan santri yang berhasil mendirikan universitas dan sekolah tinggi, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, yang didirikan pada tahun 1945 oleh tokoh-tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim dan Dr. Mohammad Hatta, serta Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di berbagai daerah yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama.

Upaya ini menunjukkan bahwa santri tidak hanya fokus pada pendidikan agama, tetapi juga memiliki kontribusi penting dalam memajukan pendidikan umum bagi seluruh lapisan masyarakat. Melalui pendirian berbagai institusi pendidikan ini, santri turut berkontribusi dalam mencetak generasi muda yang berpengetahuan luas, memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman, namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman. Ini menjadi bukti konkret peran santri dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif dan berkualitas, yang tidak hanya mencetak lulusan berkompeten dalam bidang keilmuan, tetapi juga memiliki akhlak dan moral yang baik.

Dalam bidang sosial, santri memiliki kontribusi signifikan. Pengabdian santri menjadi salah satu wujud nyata dari peran santri dalam memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Sebagai contoh, Pondok Pesantren Al-Imdad Bantul secara rutin mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat setiap bulan Ramadan. Selain itu, organisasi berbasis santri seperti Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dan Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (Lazismu) rutin menjalankan program pemberdayaan masyarakat, mulai dari pengembangan ekonomi hingga peningkatan literasi keuangan di komunitas-komunitas lokal.

Banyak pesantren juga menjalankan program pemberdayaan perempuan, seperti pelatihan kewirausahaan dan keterampilan, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi dan peran aktif perempuan di masyarakat. Melalui berbagai inisiatif ini, santri tidak hanya berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung, tetapi juga memperkuat modal sosial melalui gotong royong, kedermawanan, dan solidaritas. Dengan demikian, santri turut serta membangun tatanan sosial yang lebih inklusif, adil, dan sejahtera sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan keadilan sosial dan rahmat bagi seluruh alam.

Dalam dunia politik di Indonesia, santri juga memiliki keterlibatan yang signifikan, baik sebagai tokoh masyarakat, anggota legislatif, maupun pemimpin daerah. Banyak santri diakui sebagai pemimpin opini dan panutan yang mampu memengaruhi kebijakan publik serta dinamika sosial-politik di daerahnya. Contoh konkret dari keterlibatan santri dalam politik adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang tokoh santri yang pernah menjabat sebagai Presiden ke-4 Indonesia. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki santri, mereka membawa perspektif keagamaan yang moderat dan inklusif serta semangat gotong royong dan pemberdayaan masyarakat ke dalam ranah politik. Ini berkontribusi pada pembangunan yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat kecil.

Santri berperan sebagai motor penggerak perubahan sosial yang positif di Indonesia, dengan kontribusi yang luas dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik. Melalui pendidikan di pesantren, santri mampu mempromosikan nilai-nilai Islam moderat seperti toleransi, gotong royong, dan pemberdayaan masyarakat. Santri juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, serta pengembangan masyarakat. Namun, di tengah dinamika zaman yang terus berubah, santri menghadapi tantangan seperti modernitas, globalisasi, dan perubahan nilai-nilai sosial yang dapat mengancam identitas dan peran tradisional mereka. Di sisi lain, ada peluang bagi santri untuk memanfaatkan teknologi dan jaringan global untuk memperluas pengaruh serta kontribusi mereka dalam membangun masyarakat yang lebih berdaya dan berkeadilan. Agar tetap relevan dan menjadi kekuatan pendorong perubahan positif, santri perlu terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, memperkuat kapasitas diri, dan menjaga keseimbangan antara nilai-nilai keagamaan dan tuntutan modernitas.


Konah Wulanah (CSSMoRA Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *