Pernikahan menjadi persoalan yang sering dibahas dan dibicarakan, karena dari pernikahan itulah akan lahir generasi-generasi di masa yang akan datang. Entah menjadi generasi emas atau malah generasi cemas. Dalam pelaksanaannya, pernikahan dilakukan dengan serangkaian syarat dan ketentuan yang terbilang ketat. Hal itu bertujuan agar pernikahan bukan hanya sebatas akad yang memperbolehkan wathi’ belaka, melainkan demi berlangsungnya kehidupan yang bahagia serta harmonis di masa mendatang.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sangat peduli dalam hal pernikahan. Oleh karena itu, dalam Islam prosesi yang harus dipenuhi terbilang begitu ketat. Salah satunya adalah adanya konsep kafa’ah. Kafa’ah yang ditulis dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i merupakan “kesertaraan kondisi suami terhadap kondisi istri”. Hal ini dapat diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istri. Setara di sini yaitu dalam hal agama, nasab, harta, pekerjaan, kemerdekaan, atau aib dari calon pasangan.
Dalam syariat Islam, kafa’ah merupakan hak bagi calon istri dan walinya untuk mempertimbangkan apakah calon suami yang akan dinikahinya itu setara atau tidak. Jika misalkan calon suami itu ternyata lebih rendah nasabnya dibanding calon istri, wali nikah boleh membatalkan pernikahan tersebut. Meskipun sebenarnya kafa’ah bukanlah salah satu syarat sahnya nikah, konsep ini perlu dipertimbangkan agar hubungan pernikahan antara suami dan istri dapat berjalan dengan harmonis.
Mengapa demikian? Status nasab maupun pekerjaan sangat berdampak dalam kehidupan berumah tangga. Contohnya, seorang suami yang alumni pesantren, yang ketika pagi hari biasanya tidur karena biasa melakukan ibadah malam, kemudian menikah dengan istri yang memiliki latar belakang akademisi. Keluarga istri dengan latar belakang pekerja kantoran, setiap pagi tentunya sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan dalam segi aktivitas. Akan muncul gunjingan dari pihak keluarga istri, “Masa pagi-pagi begini masih tidur, orang kerja tah apa jadi suami tuh?!” Hal ini tentunya berbeda jika sebelumnya sudah sepakat, serta saling mengerti satu sama lain. Jadi, boleh saja menikah dengan pasangan yang berbeda derajat, asalkan calon istri dan walinya menerima dan rela akan hal itu.
Namun, yang menjadi persoalan dalam konsep kafa’ah di sini adalah dikhawatirkan adanya ketimpangan sosial, perbedaan derajat dalam hal kasta. Keluarga pejabat hanya menikah dengan sesama pejabat, kiai berbesanan dengan kiai juga, petani merasa tidak layak menikah dengan selain petani. Kelompok dominan tidak sudi memiliki ikatan keluarga dengan kelompok minoritas. Pun minoritas merasa tidak layak memiliki hubungan dengan kelompok dominan. Padahal, agama mengajarkan umat muslim untuk setara. Tidak ada perbedaan kasta. Karena muslim yang mulia dalam pandangan Tuhan adalah ia yang paling bertakwa. Tuhan menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan tujuan untuk saling mengenal satu sama lain.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (al-Hujurat: 13)
Salah satu sebab diturunkannya ayat ini adalah kisah Abu Hind yang merupakan seorang bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: “Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?”
Konsep yang selaras dengan ayat di atas adalah amalgamasi. Amalgamasi merupakan pernikahan antara dua orang yang berbeda suku bangsa, seperti misalnya pernikahan antara orang India dan Indonesia. Dalam buku “Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan” oleh Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, amalgamasi merupakan syarat interaksi sosial yang bisa menjadi solusi untuk meredam pertentangan serta perselisihan yang terjadi dalam kelompok masyarakat. Tujuan dari amalgamasi ini yaitu untuk mengangkat derajat kelompok minoritas agar dalam kehidupan sosial tidak dipandang sebelah mata. Sehingga tidak ada lagi istilah diskriminasi antar sesama manusia karena merasa dirinya lebih terhormat daripada orang lain.
Seperti halnya fenomena sosial lainnya, amalgamasi juga memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positif yang timbul di antaranya: akan lahirnya inovasi baru, mengurangi konflik perbedaan etnis dan suku, serta pertukaran pengalaman dan kebudayaan yang terdahulu. Adapun dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu adanya kemungkinan dominasi salah satu budaya sehingga menimbulkan konflik, persebaran penduduk tidak sebanding, dan memudarnya nilai budaya asli. Namun, dampak negatif tersebut hanya kemungkinan yang akan terjadi saja. Karena dalam praktiknya, di Indonesia sendiri juga sudah sejak lama menggunakan praktik amalgamasi. Seperti halnya pernikahan orang Indonesia dengan Cina, dan melahirkan istilah Chindo.
Apakah konsep amalgamasi ini sudah sesuai dengan maksud dari ayat surat al-Hujurat ayat 13 di atas?
Jadi, bagaimana sikap kita dalam menentukan calon pasangan? Setuju dengan konsep kafa’ah, atau pro dengan istilah amalgamasi?
Muhammad Farhan Jiddan (CSSMoRA Ma’had Aly Kebon Jambu 2022)