PENDAHULUAN
Kriminologi, sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat kejahatan, sebab musabab terjadinya kejahatan, korban kejahatan, dan reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan, telah menjadi objek yang menarik perhatian para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum selama berabad-abad. Kriminologi tidak muncul secara instan, tetapi melalui penelitian menyeluruh terhadap berbagai situasi dan kondisi sosial di berbagai tempat. Setelah melewati proses pergumulan yang panjang, para ilmuwan akhirnya merumuskan istilah yang berkaitan dengan perilaku kriminal atau kejahatan. Maka terciptalah istilah “kriminologi”, sebagai disiplin ilmu yang memfokuskan pada pemahaman tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma yang diharapkan. Kriminologi merupakan cabang ilmu yang mendalami kejahatan dari berbagai perspektif. Istilah “kriminologi” pertama kali dicetuskan oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi asal Prancis. Kata “kriminologi” terdiri dari dua suku kata, yaitu “crime” yang mengacu pada kejahatan, dan “logos” yang merujuk pada ilmu pengetahuan, sehingga secara harfiah, kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang kejahatan (Kogoya, 2016). Dalam ruang lingkup kriminologi, terdapat berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena kejahatan, mulai dari pendekatan klasik hingga teori-teori kontemporer yang kompleks. Sejarah, aliran, dan landasan pemikiran dasar yang membentuk teori-teori kriminologi menggambarkan evolusi pemikiran manusia dalam memahami perilaku kriminal.
Lebih jauh dari itu, terdapat definisi terkait kriminologi dari berbagai ahli. W. A. Bonger, menyatakan bahwa kriminologi yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Dimana hal tersebut disebut dengan kriminologi murni. Wolf Gang mendefinisikan kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang melibatkan berbagai metode ilmiah dalam mempelajari dan menganalisa keteraturan, keseragaman, macam-macam pola dan faktor, serta sebab musabab yang memiliki kaitan dengan kejahatan dan penjahat serta reaksinya dari masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat. Sedangkan Sutherland menyatakan bahwa kriminologi merupakan keseluruhan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Ilmu tersebut meliputi cara atau proses membuat undang-undang, pelanggaran terhadap undang-undang, dan berbagai reaksi terhadap pelanggaran (Sugiarto, 2017).
Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mengulas perkembangan sejarah kriminologi dari masa lalu hingga saat ini, menyelami aliran-aliran utama yang memengaruhi pemikiran kriminologis, serta mengeksplorasi landasan pemikiran dasar yang melandasi berbagai teori kriminologi yang ada. Melalui tinjauan ini, diharapkan pembaca akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kerumitan dan keragaman teori-teori kriminologi yang menjadi dasar bagi pemahaman terhadap kejahatan dalam masyarakat.
Seiring dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi, pemikiran kriminologis telah berkembang dari teori klasik yang menekankan pembalasan terhadap pelaku kejahatan hingga teori-teori yang lebih fokus pada faktor-faktor sosial, psikologis, dan ekologis yang mendorong terjadinya tindakan kriminal. Dengan memahami sejarah, aliran, dan landasan pemikiran dasar di balik teori-teori kriminologi, kita dapat memperkuat upaya pencegahan kejahatan dan perbaikan sistem peradilan pidana.
Dalam hal ini, penulis akan membahas pentingnya memahami sejarah kriminologi, menjelajahi bagaimana teori-teori kriminologi telah berkembang seiring waktu, serta menyoroti kontribusi masing-masing aliran terhadap pemahaman kita terhadap sifat manusia yang melanggar hukum. Dengan demikian, makalah ini tidak hanya bertujuan untuk menggali inti dari teori-teori kriminologi, tetapi juga untuk mendorong pemikiran kritis dan reflektif terhadap kompleksitas fenomena kejahatan yang terus berubah dalam masyarakat kontemporer.
PEMBAHASAN
- Sejarah Kriminologi
Kriminologi, sebagai disiplin ilmu yang mempelajari sifat, penyebab, dan kontrol kejahatan, memiliki akar yang kuat dalam sejarah peradaban manusia. Dalam perjalanan panjangnya, sejarah kriminologi telah melahirkan berbagai teori dan pendekatan yang membantu kita memahami fenomena kejahatan dari berbagai sudut pandang. Sejarah kriminologi dapat ditelusuri di zaman kuno, di mana pemikir-pemikir seperti Plato, Aristotle, dan Cicero mulai mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong perilaku kriminal. Akan tetapi, perkembangan yang lebih signifikan muncul pada abad ke-19, ketika para ahli seperti Cesare Lombroso mulai memperkenalkan konsep “pria jahat” yang menekankan faktor-faktor biologis dalam kejahatan. Dalam buku (EL Sida, 2020) sejarah kriminologi mengarungi beberapa zaman yang dapat mempengaruhi perkembangan kriminologi itu sendiri.
- Zaman Kuno
Plato menyatakan antara emas dan manusia merupakan sumber dari banyak kejahatan. Semakin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, maka semakin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang Sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Aristoteles mengemukakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Artinya, kedua pengarang ini berpengaruh dalam hukum pidana. Mereka mengemukakan bahwa hukuman dijatuhkan bukan karena berbuat jahat, tetapi supaya tidak berbuat dan melakukan kejahatan.
- Zaman Abad Pertengahan
Meskipun kriminologi belum menjadi fokus utama bagi para ahli pada zaman ini, Thomas Van Aquino (1226-1274) telah memberikan kontribusi penting dalam mempertimbangkan dan mendiskusikan dampak kemiskinan terhadap kejahatan. Van Aquino mengemukakan pandangannya bahwa orang-orang kaya, yang hidup dalam kemewahan dan menyia-nyiakan kekayaan mereka, mungkin akan terjerumus ke dalam tindakan kriminal seperti pencurian jika mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Dia menegaskan bahwa kemiskinan seringkali mendorong seseorang untuk melakukan tindakan pencurian. Melalui argumen dan pembelaannya, Van Aquino menyimpulkan bahwa dalam keadaan yang sangat memaksa, tindakan mencuri bisa dipandang sebagai hal yang dapat dimaafkan.
- Zaman Permulaan Sejarah Baru (Abad ke-16)
Pada masa ini dapat dianggap masa lahirnya kriminologi dalam arti sempit, karna pada zaman ini Thomas More membahas hubungan kejahatan dengan masyarakat. Dia mengkritik pemerintahan ingris yang menghukum penjahat terlalu keras dengan mengatakan kejahatan hanya berkurang apabila terdapat perbaikan hidup, bukan karena hukumannya yang keras. Mengancam susunan hukum pidana dimana berlaku hukuman mati untuk pencuri, tetapi setuju bahwa penjahat harus menebus dosanya.
- Abad ke-18 sampai Revolusi Prancis
Pada zaman ini, terdapat perlawanan terhadap sistem hukum pidana yang sebelumnya bertujuan untuk menakut-nakuti dengan memberlakukan hukuman terhadap pelanggaran pribadi, mengabaikan perhatian terhadap pelaku kejahatan dan menampilkan karakter inkuisitorial dalam prosedur pidana. Kondisi ini mencetuskan berbagai reaksi terhadap rezim hukum yang kuno, dipengaruhi oleh gerakan pencerahan. Munculnya kesadaran akan hak asasi manusia membawa perhatian pada perlakuan adil terhadap pelaku kejahatan.
Motesquieu, Rousseau, dan Voltaire menyuarakan penentangan terhadap kekejaman dan tindakan sewenang-wenang dalam hukuman pidana. Motesquieu menekankan bahwa legislasi yang baik haruslah mencegah kejahatan, bukan sekadar menghukumnya. Meskipun saat ini terdapat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tujuannya lebih kepada mengintimidasi daripada memberikan keadilan. Praktik hukum saat ini cenderung hanya memperhatikan tindak pidana, bukan individu pelakunya, dengan terdakwa terpaksa mengakui kesalahan mereka tanpa adanya pembelaan yang layak. Hal ini menimbulkan keberatan di masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Revolusi Perancis pada tahun 1791, dan perubahan hukuman pada tahun 1830, mencerminkan upaya untuk menghapuskan sistem pemidanaan lama dan mengimplementasikan reformasi pemidanaan yang memperlakukan setiap individu secara setara dan adil sesuai dengan hukum, termasuk hukuman yang lebih ringan, perbaikan kondisi penjara, penghapusan hukuman fisik, dan pengurangan hukuman mati kecuali untuk kejahatan yang sangat serius.
- Abad ke-19
Pada zaman ini, terdapat tiga peristiwa penting yang terjadi dalam bidang kriminologi, yang pertama adalah transformasi dalam sistem hukum pidana. Pada tahun 1791, Perancis mengakhiri sistem hukum pidana yang lama dengan merumuskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang secara tegas mendefinisikan kejahatan dan menegaskan kesetaraan setiap individu di hadapan hukum. Hal ini memberikan dampak signifikan, termasuk pengaruhnya terhadap Belanda yang kemudian mengadopsi “Het criminel wetboek voor het Koningkrijk Holland” pada tahun 1809. Di Inggris, pengaruh J. Bentham mendorong penyusunan English Criminal Code pada tahun 1810. Meskipun kondisi lembaga pemasyarakatan di Inggris masih buruk, di Belanda telah terjadi perubahan arah. Di Amerika, terjadi perubahan radikal di lembaga pemasyarakatan pada tahun 1791, diikuti dengan penerapan sistem Auburn di New York pada tahun 1823. Meskipun perbaikan ini terutama bersifat yuridis, gagasan membuat semua penjahat setara masih menghadapi perlawanan karena kejahatan yang beragam yang dilakukan oleh para pelaku. Perubahan substansial baru benar-benar terjadi pada tahun 1870-an, di mana kriminologi mulai memberikan kontribusinya.
Ke-2 (dua) yaitu penyebab sosial dari kejahatan mulai mendapat perhatian, dengan W. Gowin (1756-1836) menjelaskan hubungan antara struktur masyarakat dan kejahatan, serta Ch. Hall (1739-1819) yang mengkritik dampak sosial yang merugikan dari industrialisasi terhadap pekerja. Pandangan baru juga muncul, seperti yang disampaikan oleh Th. Hodsgskin (1787-1869) dan R. Owen (1771-1858). R. Owen dalam bukunya “The book of the new moral world” (1844) mengemukakan bahwa lingkungan yang buruk dapat mempengaruhi perilaku seseorang menjadi negatif, sementara lingkungan yang baik akan berdampak sebaliknya. Muncul motto: “Ubahlah kondisi masyarakat, maka anggotanya pun akan berubah”. Ide ini menyiratkan bahwa dengan memberikan pendidikan yang baik dan memastikan semua orang memiliki cukup untuk hidup, standar moral akan meningkat dan hukuman menjadi tidak lagi diperlukan.
Berbagai penyebab psikiatri antropologis dari kejahatan menjadi peristiwa terakhir di zaman ini, dimana orang yang mengalami gangguan mental masih sering diperlakukan sebagaimana pelaku kejahatan. Pandangan umum adalah bahwa pelaku kejahatan memiliki kehendak bebas, sementara orang yang mengalami gangguan mental umumnya tidak memiliki kehendak bebas untuk memilih tindakan yang baik atau buruk. Namun, dengan munculnya ilmu kejiwaan, terjadi perubahan dalam paradigma ini. Dokter Perancis, Ph. Pinel (1754-1826), memperkenalkan konsep baru ini. Sebagai hasilnya, ia menambahkan sebuah pasal dalam KUHP yang menyatakan bahwa tidak akan ada hukuman jika terdakwa dalam keadaan sakit jiwa. F.J. Gall (1758-1828) mengemukakan pendapat bahwa kelainan otak (dalam bidang antropologi) dapat menyebabkan perilaku jahat. P. Broca (1824-1880) juga menegaskan bahwa benjolan pada tengkorak (dalam konteks antropologi) dapat menjadi penyebab kejahatan.
- Aliran dalam Kriminologi
Dalam bidang kriminologi, terdapat beberapa aliran atau madzhab, yang masing-masing memiliki ajarannya masing-masing, terutama terkait dengan konsep kejahatan. Dalam buku yang berjudul Kriminologi dalam Presfektif Islam karangan (Mubarok, 2017), aliran-aliran tersebut diantaranya:
- Aliran Antropologis (Madzhab Itali)
Mazhab ini melakukan studi terhadap kejahatan dengan pendekatan antropologis, yang pada akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai “antropologi kriminal”. Frans dan Spuzheim adalah tokoh utama dari aliran ini. Mereka menyelidiki karakteristik fisik, kepribadian, ekspresi wajah, tulisan tangan, dan cara berjalan dari para pelaku kejahatan.
Salah satu penganut aliran ini adalah P. Brocca, yang melakukan penelitian terhadap tengkorak para penjahat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada tengkorak para penjahat, yang menunjukkan adanya sifat patologis atau penyakit. Selanjutnya, A. B. Morel menyampaikan teorinya tentang “degenerasi”, yang mengacu pada penurunan sifat manusia. Menurutnya, jika seseorang berada pada lingkungan yang buruk selama beberapa generasi, maka keturunannya akan mengalami penurunan sifat. Akibatnya, orang tersebut mungkin melakukan tindakan jahat meskipun memiliki keyakinan agama yang kuat.
Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck juga melakukan studi perbandingan antara pria yang melakukan pelanggaran hukum dengan yang tidak. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pria yang melakukan pelanggaran hukum memiliki ciri-ciri fisik seperti wajah yang lebih sempit, dada yang lebih besar, pinggang yang lebih lebar, serta lengan bawah dan lengan atas yang lebih besar daripada mereka yang tidak melakukan pelanggaran hukum. Penelitian juga menemukan bahwa 60% dari pelaku pelanggaran hukum didominasi oleh mereka yang memiliki tubuh mesomorfik.
- Aliran Lingkungan (Madzhab Perancis)
Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab lingkungan karena menitikberatkan pada pengaruh kondisi lingkungan masyarakat. Mazhab ini muncul sebagai respons terhadap aliran Antropologi Kriminal. Dalam pandangan mazhab ini, tidak ada individu yang lahir sebagai penjahat karena sifat bawaan. Sebaliknya, mereka percaya bahwa pelaku kejahatan sebenarnya tidak bersalah. Di dalam mazhab ini, terdapat beberapa motto seperti “Dunia lebih bertanggung jawab atas kondisi saya daripada saya sendiri”. Artinya, seseorang menjadi penjahat bukan karena fitrahnya, melainkan karena dipengaruhi oleh lingkungannya.
Tokoh-tokoh dalam aliran ini termasuk Lacassagne (seorang dokter), Manouvrier (seorang antropolog), dan G. Tarde (seorang yuris dan sosiolog). Meskipun mereka bukan ahli sosiologi, mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor sosial yang memengaruhi kriminalitas.
- Madzhab Bio-Sosiologi
Mazhab ini merupakan gabungan dari pendekatan antropologis dan lingkungan. Enrico Ferri menjadi pelopor sekaligus tokoh utama dari mazhab ini, sedangkan penganutnya yaitu AD. Prins (Brussel-Belgia), F.R. Von Liszt (Berlin-Jerman), dan G.A. Van Hamel (Amsterdam-Belanda).
Ferri mengungkapkan bahwa setiap tindakan kejahatan merupakan hasil dari faktor-faktor yang ada dalam individu, masyarakat, dan keadaan fisik. Ferri menekankan bahwa unsur yang tetap penting adalah individu, yang pengertiannya sejalan dengan konsep yang diperkenalkan oleh Lombroso. Oleh karena itu, ia merumuskan pandangannya dengan formula “setiap kejahatan = (keadaan sekeliling + bakat) dengan keadaan sekelilingnya”.
Menurut pandangan mazhab Bio-Sosiologi, faktor-faktor individu yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan meliputi sifat-sifat yang dimiliki individu sejak lahir, seperti kondisi fisik, jenis kelamin, tingkat kecerdasan (IQ), temperamen, dan kesehatan mental. Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku kriminal meliputi kondisi lingkungan fisik, seperti geografi dan iklim, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat, tingkat peradaban masyarakat, situasi politik suatu negara, dan sebagainya.
- Aliran Psikologis
Pokok dari aliran ini adalah meyakini bahwa penyebab terjadinya kejahatan adalah faktor psikologis dari pelaku kejahatan. Secara umum, aliran ini dapat dikelompokkan ke dalam empat teori utama, yakni: teori psikoanalisis, teori kekacauan mental, teori pengembangan moral, dan teori pembelajaran sosial.
- Pemikiran Kriminologis Baru (Kritis)
Aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang menentang pandangan bahwa perilaku menyimpang yang dianggap sebagai kejahatan harus dijelaskan semata-mata dengan melihat kondisi struktural dalam masyarakat, serta menempatkan perilaku tersebut dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran, dan otoritas, serta hubungannya dengan perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Dalam aliran ini, penilaian atas apakah suatu perbuatan dianggap menyimpang tidak ditentukan oleh nilai-nilai atau norma yang diterima oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, penilaian itu harus dipandang dari seberapa besar kerugian atau keparahan sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut, serta dilihat dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang dipandang sebagai hasil dari interaksi sosial dalam tanggapan terhadap struktur kelas seseorang. Dalam pandangan ini, nilai-nilai utama adalah keadilan dan hak asasi manusia. Penelitian utamanya adalah pada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis, dan sosial merugikan, yang berdampak pada jatuhnya korban bukan hanya individu tetapi juga kelompok dalam masyarakat. Pengendalian sosial dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur politik, ekonomi, dan sosial secara keseluruhan.
Robert F. Meier menyatakan bahwa salah satu tugas kriminologi dalam perspektif baru adalah untuk mengungkap sumber-sumber dan penggunaan hukum pidana, dengan tujuan untuk mengekspos kepentingan yang mendasarinya.
C. Pemikiran Dasar yang Melandasi Teori_Teori Kriminologi
Perspektif teori kriminologi untuk menjelaskan masalah kejahatan memiliki cakupan yang sangat luas, tergantung pada sudut pandang yang digunakan dalam menganalisis teori terhadap subjek yang dibahas. Ada tiga sudut pandang yang digunakan dalam analisis masalah kejahatan, yaitu:
- Sudut pandang secara makro (macrotheories)
- Microtheoris
- Bridgingtheories
Macrotheories adalah teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini menekankan pada tingkat kejahatan atau epidemiologi kejahatan daripada pada pelaku kejahatan. Contohnya adalah teori anomi dan teori konflik. Sementara itu microtheories merupakan teori yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok dalam masyarakat melakukan kejahatan atau mengapa ada orang-orang yang melakukan kejahatan dan orang-orang lain yang tidak. Teori ini lebih menitikberatkan pada pendekatan psikologis, sosiologis, atau biologis.
Bridging theories adalah teori-teori yang sulit dikategorikan ke dalam macrotheories atau microtheories. Teori-teori ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana individu atau kelompok menjadi penjahat. Contohnya adalah teori subkultur dari teori differential opportunity.
Dengan mengenalkan berbagai teori kriminologi tersebut menunjukkan bahwa teori-teori ini dapat diaplikasikan sepenuhnya dalam konteks masyarakat Indonesia, bahkan dapat membantu dalam memahami kondisi dan perkembangan ilmiah studi kejahatan yang memengaruhi kriminologi abad ke-20. Terdapat kesan bahwa semakin kita mempelajari berbagai teori tentang kejahatan, semakin jelas perbedaan antara satu teori dengan yang lain. Namun, sebenarnya teori-teori ini dapat diintegrasikan atau disusun menjadi “teori integrasi kejahatan”. Munculnya disiplin baru yang fokus pada masalah kejahatan dan sistem peradilan pidana setelah tahun 1965 memberikan peluang besar bagi riset mengenai implementasi sistem keadilan pidana terhadap perkembangan kejahatan di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Dengan demikian, era tahun 1970 an dapat digambarkan sebagai periode di mana pendekatan praktis dan pragmatis terhadap studi kejahatan mendominasi, sementara pada saat yang sama, terjadi kemunduran atau bahkan stagnasi dalam pengembangan teori baru di bidang kejahatan. Pada era tersebut, tidak banyak teori baru yang dihasilkan.
Perkembangan teori kriminologi yang telah dijelaskan sebelumnya juga mempengaruhi kalangan sarjana atau ahli kriminologi di Indonesia, terutama setelah berkembangnya pendekatan struktural dalam studi kejahatan yang dikenal sebagai pendekatan studi kejahatan struktural. Di kalangan teoretis kriminologi, seringkali dipertanyakan sejauh mana sistem peradilan pidana menciptakan dampak yang disebut oleh Lemmert sebagai devian sekunder, dan sejauh mana struktur masyarakat dengan berbagai kondisinya mendukung terjadinya kejahatan dalam masyarakat. Bahkan, kaum teoretisi kriminologi kadang-kadang mengabaikan pentingnya mempertimbangkan kondisi struktural masyarakat, dan sejauh mana kondisi tersebut dapat berperan sebagai penangkal terhadap terjadinya kejahatan (Erlina, Vol. 3, No. 2, 2014).
KESIMPULAN
Dari pembahasan sejarah, aliran, dan landasan pemikiran dasar yang membentuk berbagai teori kriminologi, dapat disimpulkan bahwa studi tentang kejahatan, perilaku kriminal, dan sistem hukum telah berkembang secara signifikan dari waktu ke waktu. Sejak era klasik hingga masa kontemporer, teori kriminologi telah menawarkan berbagai perspektif yang beragam dalam memahami fenomena kejahatan. Berbagai aliran dalam kriminologi, mulai dari teori klasik yang menekankan rasionalitas individu hingga teori positivistik yang fokus pada faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial, memberikan wawasan yang berbeda tentang penyebab dan penanganan kejahatan. Teori struktural-fungsional, teori konflik, dan teori kontrol sosial juga memberikan pandangan yang beragam tentang dinamika sosial yang mempengaruhi perilaku kriminal.
DAFTAR PUSTAKA
EL Sida, E. M. (2020). Kriminologi, Viktimologi, dan Filsafat Hukum (KVFH). The first on publisher in Indonesia: Guepedia .
Erlina. (Vol. 3, No. 2, 2014). Analisa Kriminologi Terhadap Kekerasan Dalam Kejahatan. Al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 217-228.
Kogoya, W. (2016). Buku ajaran Kriminologi. Bandung: WIDINA MEDIA UTAMA.
Mubarok, N. (2017). Kriminologi dalam Presfektif Islam. Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya.
Sugiarto, T. (2017). Pengantar Kriminologi. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing .
Gufron Ihsan (CSSMoRA Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 2022)