Antara Pasrah dan Menyerah: Makna, Perbedaan, dan Implementasinya

Mungkin kita tidak asing dengan kata “pasrah” dan “menyerah.” Keduanya tampak serupa, bahkan mungkin sebagian dari kita menganggapnya sama. Namun, “pasrah” dan “menyerah” tentu bukanlah hal yang sama. Masing-masing kata memiliki konotasi, denotasi, dan fungsi yang berbeda. Sayangnya, penafsiran yang singkat dan kurangnya pemahaman sering membuat kita mengabaikan perbedaan ini. Tidak jarang kita memberikan definisi tanpa landasan keilmuan yang kredibel. Kerancuan pemaknaan ini sering kita temui dalam pergaulan dan diskusi sehari-hari. Padahal, dari konotasi saja, kedua kata ini memiliki makna berbeda yang dapat menunjukkan semangat seseorang dalam menghadapi hidup.

Misalnya, ketika seseorang telah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu dan merasa sudah melakukan yang terbaik, “pasrah” bisa menjadi jalan akhir dengan harapan dan optimisme. Sebaliknya, “menyerah” seringkali diidentikkan dengan seseorang yang merasa patah semangat atau gagal, sehingga terjebak dalam pesimisme.

Sebelum masuk lebih dalam mengenai perbedaan ini, ada satu ungkapan populer: “hidup itu perlu duit, duit memang bukan segalanya tapi segalanya butuh duit.” Namun, bukan soal duit yang ingin dibahas, melainkan penafsiran bahwa “duit” bisa bermakna Doa, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakal. Meski terdengar sebagai goyonan, pemaknaan ini memberikan perspektif bahwa hidup memerlukan doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal.

Kembali ke perbedaan “pasrah” dan “menyerah,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pasrah” berarti sikap berserah diri pada takdir atau keadaan, serta menyerahkan diri pada Tuhan. Sedangkan “menyerah” diartikan sebagai mengakui kekalahan atau menghentikan perlawanan. Perbedaan utama terletak pada konteks penggunaan dan nuansa maknanya. “Pasrah” lebih sering digunakan dalam konteks spiritual atau menghadapi situasi di luar kendali manusia, dengan konotasi penerimaan bijaksana. Contohnya, seseorang mungkin berkata “pasrah pada kehendak Tuhan” saat menghadapi cobaan. Sementara itu, “menyerah” lebih mengarah pada penghentian upaya.

Pemilihan kata yang tepat antara “pasrah” dan “menyerah” dapat memberi warna berbeda pada makna yang ingin disampaikan. Memahami perbedaan ini memungkinkan ekspresi diri yang lebih akurat dan pemahaman yang lebih baik dalam komunikasi.

Dalam perspektif Islam, “pasrah” dan “menyerah” juga memiliki makna dan nilai yang berbeda. Pemahaman yang tepat tentang kedua konsep ini penting untuk menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Pasrah” dalam Islam dikenal sebagai “tawakal,” yaitu sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Tawakal bukan berarti pasif, melainkan puncak dari ikhtiar seorang hamba. Al-Qur’an menekankan pentingnya tawakal dalam beberapa ayat, seperti Surah Ali ‘Imran ayat 159, yang mengajarkan bahwa tawakal dilakukan setelah berusaha sungguh-sungguh.

Sementara itu, “menyerah” dalam arti putus asa tidak dianjurkan dalam Islam. Agama ini mendorong umatnya untuk selalu optimis dan tidak kehilangan harapan akan rahmat Allah. Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 87 dengan tegas melarang sikap putus asa dari rahmat Allah. Perbedaan utama antara tawakal dan menyerah terletak pada sikap dan tindakan yang menyertainya. Tawakal melibatkan usaha optimal sebelum berserah diri, sedangkan menyerah cenderung menghentikan usaha. Tawakal memperkuat hubungan dengan Allah, sementara menyerah bisa menjauhkan diri dari-Nya.

Pada praktiknya, seorang Muslim diharapkan menjadikan tawakal sebagai bagian integral dari setiap usahanya. Ia berupaya sekuat tenaga untuk mencapai tujuan, sambil menyadari bahwa hasil akhir ada di tangan Allah. Sikap ini membawa ketenangan dan kekuatan spiritual, karena apapun hasilnya akan diterima sebagai ketentuan terbaik dari Allah.

Dengan penjelasan singkat ini, kita dapat mengetahui dan menggolongkan diri kita masing-masing: apakah kita termasuk orang yang pasrah atau menyerah. Semoga dengan ikhtiar dan tawakal, kita selalu diberikan pemahaman serta kemudahan di setiap langkah dan segala hal yang sedang kita usahakan.


Ahmad Rubayu (CSSMoRA Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *