Pesantren Penuh Kekerasan: Memahami, Mengatasi, dan Memperbaiki

Beberapa tahun terakhir, tindak kekerasan di pesantren menjadi sorotan utama masyarakat. Kasus kekerasan yang baru-baru ini terjadi di dunia pesantren memberikan dampak buruk yang sangat besar, baik bagi pesantren itu sendiri maupun secara umum. Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren sebagai tempat yang aman dan baik bagi anak-anak mereka telah terguncang. Banyak orang yang awalnya percaya bahwa pesantren adalah lingkungan yang positif kini merasa ragu dan bahkan membenci pesantren, menganggapnya tidak aman lagi. Kepercayaan bahwa santri memiliki perangai yang baik juga ikut memudar, sehingga banyak orang tua enggan mengirim anak-anak mereka ke pesantren karena takut mereka akan belajar permusuhan.

Namun, kita sebagai orang yang berpendidikan harus menangkal persepsi negatif ini. Dari sekian banyak santri di Nusantara, hanya segelintir oknum yang melakukan tindak kekerasan. Tidak adil untuk menyimpulkan bahwa semua santri akan melakukan kekerasan. Begitu pula, hanya satu atau dua pesantren yang terkena kasus penganiayaan dari sekian banyak pesantren yang ada. Oleh karena itu, tidak perlu memandang buruk semua pesantren hanya karena beberapa kasus.

Kekerasan atau pembulian yang terjadi baru-baru ini memang melibatkan antar santri, namun tidak menutup kemungkinan adanya pembulian antara santri dan guru. Secara alami, manusia tidak senang dengan pembulian. Meskipun demikian, pembulian antar santri mungkin terjadi karena dorongan kriminal seperti pencurian atau dorongan emosional spontan. Faktor lain adalah tradisi diskriminatif senioritas terhadap juniornya. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penanganan yang tepat, termasuk pencegahan, pengawasan, penindakan, dan penyadaran. Pencegahan dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan yang ketat dan mengawasinya agar aturan tersebut dijalankan. Jika ditemukan pelanggaran, harus ada sanksi yang diberikan untuk menimbulkan efek jera.

Penganiayaan yang melibatkan guru dan santri bisa terjadi dua arah: guru menganiaya santri atau sebaliknya. Dalam Islam, ada satu bentuk tindakan yang terkesan keras namun boleh dilakukan oleh guru kepada santrinya, yaitu ta’dib. Ta’dib memiliki makna filosofis yaitu tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki sifat atau perilaku santri atau murid yang kurang baik. Sebagaimana dawuh Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir: يجوز لمعلم الصبيان ان ياءدبهم بالضرب اصلاحا لهم “Boleh bagi seorang guru memberikan didikan kepada muridnya dengan pukulan dalam rangka memperbaiki karakternya”.

Memukul dalam rangka ta’dib secara format mungkin bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan, namun jika dilihat dari hakikatnya, tindakan tersebut sebenarnya bukanlah kekerasan. Ta’dib dilakukan bukan karena dorongan emosional, tetapi dengan tujuan memperbaiki karakter santri, bukan untuk merusaknya.

Namun, jika kekerasan terjadi sebaliknya, yaitu santri kepada guru, maka Islam sama sekali tidak mentoleransi hal tersebut. Sebagaimana dikatakan dalam maqalah, “Guru harus menganggap murid sebagai gurunya dan murid harus menganggap gurunya sebagai guru.” Berdasarkan maqalah ini, terlahirlah dua sudut pandang dalam dunia pendidikan:

  1. Sudut Pandang Guru: Guru mengenalkan kesalingan dalam mengambil pelajaran. Selain menyampaikan ilmu, guru juga harus belajar dari santrinya sebagai bahan evaluasi diri.
  2. Sudut Pandang Santri: Santri harus patuh kepada gurunya tanpa menggurui. Artinya, santri tidak boleh bersikap menggurui atau melecehkan gurunya.

Sebagaimana dikutip dalam kitab تذكرة السامع والمتكلم في آداب العالم والمتعلم karya Syaikh Badruddin bin Ibrahim: الخامس ان يصبر علي جفوة تصدر من شيخه او سوء خلق ولا يصده ذالك من ملازمته وحسن عقيدته ويتاءول افعاله التى يظهر ان الصواب خلافها علعي احسن تاءويل

“Yang kelima (dari adab seorang santri kepada gurunya) adalah bersabar terhadap perilaku keras atau buruknya akhlaq sang guru. Santri tidak boleh meninggalkan gurunya karena tindakan itu dan tindakan itu tidak berpengaruh terhadap akidah gurunya yang baik. Dan santri harus pandai-pandai menafsiri tindakan gurunya dengan penafsiran yang baik, meskipun tindakan gurunya tidak benar.”

Salah satu penafsiran yang baik adalah memahami bahwa tindakan keras guru bertujuan untuk perbaikan karakter.

Oleh karenanya, kita sebagai santri harus selalu husnudzon (berprasangka baik) terhadap apa yang dilakukan oleh guru-guru kita. Jangan ada sedikitpun rasa tidak senang terhadap kelakuan mereka. Mari kita menghormati dan menghargai peran serta tindakan guru kita dalam rangka membentuk karakter yang lebih baik.


Abror Fathoni (CSSMoRA Ma’had Aly Syafi’iyah Situbondo 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *