Apakah Hanya Orang Kaya yang Boleh Berpendidikan?

Ilustrasi “Pendidikan tersier” bu Achmad Ferdiansyah

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan suatu bangsa. Pendidikan sangat penting bagi sebuah negara, karena dengan pendidikan, seseorang dapat mengembangkan potensinya dan terus tumbuh. Pendidikan adalah investasi berharga yang memastikan negara terus maju dan berkembang.

Di Indonesia, pendidikan adalah hak setiap individu, sebagaimana yang tertera dalam UUD 1945 pasal 28 (dari Pasal 28A s.d Pasal 28J). Setidaknya ada 10 hak mendasar yang melekat pada manusia, termasuk hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi, dan hak untuk memperoleh pendidikan. Pasal tentang pendidikan sebagai hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 28C UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

Lebih lanjut, Pasal 31 UUD 1945 secara khusus mengatur tentang pendidikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan negara dan daerah.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa negara memiliki kewajiban utama dalam proses pendidikan di Indonesia. Negara juga mempunyai otoritas untuk menjamin perlindungan hukum terhadap hak asasi setiap warga negara, khususnya dalam memperoleh pendidikan. Namun, akhir-akhir ini banyak pihak merasa pemerintah mengkhianati undang-undang yang mereka buat sendiri.

Media belakangan ini ramai memberitakan demo mahasiswa di berbagai kampus, yang terjadi karena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Seharusnya, tingginya biaya pendidikan di jenjang perkuliahan menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan kepada keluarga. Lalu, bagaimana nasib rakyat dengan perekonomian rendah? Apakah pendidikan hanya boleh dinikmati oleh mereka yang disebut “orang kaya”?

Setiap orang tentunya menginginkan pendidikan yang layak dan tinggi, karena pendidikan menentukan pola pikir, perilaku, dan kemampuan seseorang untuk berkembang. Jika untuk mendapatkan pendidikan saja terhalang oleh faktor ekonomi, bagaimana nasib anak-anak yang ingin mengubah derajat keluarganya? Apakah impian mereka harus terkubur?

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi KEMENDIKBUDRISTEK, Tjitjik Sri Tjahjandarie, pada 15 Mei 2024, menanggapi kritik mahasiswa mengenai tingginya UKT dengan mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau tertiary education. Pendidikan tinggi bukan termasuk dalam program wajib belajar, sehingga sifatnya pilihan, bukan wajib.

Pernyataan ini tentu memicu banyak pertanyaan dan kritik. Bukankah sudah jelas bahwa negara membutuhkan orang-orang dengan pendidikan tinggi demi kemajuan bangsa? Mengapa pemerintah seolah-olah tidak mendukung hal itu? Bukankah pernyataan seperti ini bisa meruntuhkan semangat para anak bangsa untuk menempuh pendidikan tinggi? Apakah pintar hanya milik sang kaya? Bagaimana dengan anak-anak dari keluarga ekonomi rendah? Apakah mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan tinggi?

Indonesia, yang telah berusia 78 tahun, seharusnya memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan negara-negara tetangga. Namun, lagi-lagi pendidikan di Indonesia terhalang oleh faktor ekonomi. Pola seperti ini sangat buruk, karena rakyat dengan perekonomian rendah akan terus merasa tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi, merasa selamanya akan menjadi orang miskin dan tidak pantas berpendidikan. Pola pikir ini akan terus timbul dan menjadi warisan buruk bagi generasi berikutnya.

Lalu bagaimana dengan hak-hak yang sudah jelas tertera dalam UUD? Apakah Indonesia akan selamanya menjadi negara dengan pendidikan yang tertinggal hanya karena pemerintah tidak bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikan rakyatnya? Apakah Indonesia yang dulu dan sekarang akan selalu seperti ini? Hanya orang-orang dengan uang dan jabatan yang bisa berkembang dan berpendidikan? Apakah hanya sang kaya yang berhak mendapatkan pendidikan? Apakah bangsa ini enggan memiliki rakyat yang pintar? Bukankah semakin pintar semakin sulit dibodohi? Atau pemerintah takut tidak bisa membodohi rakyatnya lagi?


Tyas Norma Yunita (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim Semarang 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *