Ku Sebut Mereka sebagai “Rumah”

Di tengah bisingnya kota Semarang
Ternyata masih saja ada seorang anak yang tak tahu diri
Menembus bisingnya kota besar dengan tangisan yang begitu rintih|
Tersedu-sedu tak tahu malu

Ada kecemasan dan banyak rasa takut berhinggapan
Ia terlalu takut menghadapi dunia
Dunia yang ternyata telah membawanya pada sebuah kenyataan
Dunia yang memaksanya untuk sadar

Takdir bermain begitu jenaka
Membawanya pada belahan bumi yang sekarang ia pijak, “ini di mana” katanya
Takut, cemas, dan banyak rasa khawatir menggerus pikirannya
Seorang anak kecil yang sekarang telah resmi menyandang gelar “Perantau”

Semuanya gelap, semuanya mencekam, “Aku ingin pulang” katanya
Kata-kata itu terdengar di sela-sela tangisan yang kian nyaring
Sungguh pedih untuk didengar
Sungguh menyakitkan untuk dirasakan

Hingga pada ujung gelap itu
Ada teduh tatap mata yang menyambutnya
Mengulurkan lambaian tangan untuk digenggam
Lalu menawarkan dekap hangat

Seketika ketakutan dan  kecemasan menghilang  
Kegelapan yang menghitam pun perlahan memudar
Sedikit demi sedikit tergerus akan hangat dekap
Dekap hangat yang membuatku merasa pulang

Aku tak tahu harus menyebut mereka apa
Namun singkat saja, Ku sebut mereka sebagai “Rumah”
Sekali lagi aku tidak tahu harus menyebut mereka  apa
Jelasnya mereka adalah sebuah “Rumah”

Di ujung tulisan ini tolong izinkan aku
Izinkan aku mengucapkan “Terima kasih dan maaf”
Terima kasih telah merangkulku
Dan maaf untuk ribuan kekecewaan yang ku ciptakan


Tyas Norma Yunita (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim Semarang 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *