Berawal dari suatu tempat pertemuan yang dipenuhi dengan percakapan tentang masa depan, setiap individu membawa tujuan dan harapan untuk masa mendatang. Tujuan tersebut umumnya mencakup hasrat untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya dan yang dicintainya.
Dalam perbincangan tersebut, ada kesepakatan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dapat diraih ketika kita mampu berpikir dan bertindak secara seimbang. Seimbangnya pemikiran dan tindakan memungkinkan kita mengonkretkan ide-ide menjadi kenyataan, menghasilkan hasil yang mendorong kita menuju tujuan yang diinginkan.
Namun, perdebatan muncul terkait sejauh mana takaran pemikiran atau tindakan seimbang harus dilakukan. Bahkan, ada pertanyaan apakah kata “keinginan untuk sukses” atau “kebahagiaan” sering kali mencerminkan egoisme pribadi, di mana individu bersikeras mencapai kesuksesan tanpa mempertimbangkan konsekuensi dan dampak sosial.
Mungkin, apa yang dianggap seimbang bagi diri sendiri belum tentu seimbang untuk orang-orang di sekitar kita. Ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang arti sejati dari keseimbangan, terutama ketika kita dihadapkan pada dinamika antara keinginan pribadi, norma sosial, dan prinsip-prinsip agama.
Indonesia, sebagai negara yang kental dengan nuansa keagamaan, memiliki sebagian besar penduduknya menganut agama. Dalam kehidupan sehari-hari, norma dan dogma agama menjadi pondasi utama bagi individu dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Agama memberikan panduan dan aturan kepada para penganutnya, membimbing mereka untuk menjalani kehidupan dengan kebaikan dan keteraturan.
Konsep kebaikan dan keteraturan dapat terwujud ketika kita mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini mencakup ide bahwa keseimbangan terjadi ketika kita tidak memaksakan kehendak atau memihak pada satu pihak tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama, baik itu dalam hubungan personal maupun interaksi dengan lingkungan sekitar.
Kata “seimbang” sering kita dengar dan kita coba definisikan, tetapi apa sebenarnya maknanya? Dalam perspektif agama Islam, konsep keseimbangan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara diri sendiri dan lingkungan, tetapi juga dengan harmonisasi antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan diri dan kepentingan bersama. Agama Islam mengajarkan bahwa keseimbangan dapat dicapai melalui pemahaman yang mendalam, adil, dan sejalan dengan nilai-nilai keagamaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “seimbang” diartikan sebagai imbang, yang berarti sebanding dalam berat, derajat, ukuran, dan hal lainnya. Dari penjelasan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa “seimbang” mencerminkan kesebandingan antara dua hal, tanpa ada satu yang lebih berat atau condong pada salah satu sisi saja. Namun, bagaimana konsep “seimbang” dalam Islam?
Dalam konteks Islam, kata “seimbang” atau “keseimbangan” (At Tawazun) merujuk pada beberapa nilai dasar dan prinsip dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan nilai-nilai karakter yang baik, salah satunya adalah sikap seimbang (At Tawazun). Islam mengajarkan agar umatnya tidak bersikap ekstrem, tidak miring ke kiri atau kanan, melainkan memberikan ruang dan jalan yang adil serta seimbang kepada semua umat tanpa berlebihan atau mengabaikan hal lainnya.
Akar kata “Tawazun” berasal dari “Al Wazn”, dengan penambahan “ta'” dan “alif” menjadi kata “Tawazun” dari kata “Tawazana”. “Seimbang” atau “Tawazun” berarti menempatkan sesuatu sesuai tempat dan haknya, tanpa berpihak atau memojokkan suatu hal. Konsep keseimbangan dalam Islam diharapkan mampu melahirkan kebahagiaan yang ditandai dengan adanya ketentraman dan kesejahteraan yang merata bagi semua umat.
Konsep “Tawazun” harus diwujudkan agar buah dari ajaran agama dapat dirasakan. Di mana kebahagiaan dan ketentraman menjadi tanda akan keseimbangan kita, baik dalam beragama maupun bernegara. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, namun penting untuk tidak mengorbankan orang lain atau melupakan ajaran dan doktrin dalam agama kita masing-masing. Semoga kita senantiasa menemukan keseimbangan dalam menjalani kehidupan sesuai ajaran dan doktrin agama Islam.
Ahmad Rubayu (CSSMoRA Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 2023)