Fiqih Tahawwulat: Membuka Pintu Kebijaksanaan Islam dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer

Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal, menyampaikan ajarannya untuk seluruh umat manusia tanpa memandang bangsa dan suku. Keberlakuan Islam bersifat komprehensif, mencakup segala aspek kehidupan, dan mampu memberikan solusi untuk berbagai problematika yang dihadapi manusia di dunia. Dalam setiap permasalahan kehidupan manusia, terdapat hukum Islam yang dapat memberikan pedoman dan solusi.

Keuniversalan Islam menjadikannya relevan dalam setiap zaman dan generasi. Ajarannya dapat berjalan beriringan dengan perkembangan zaman, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap memiliki keberlakuan di berbagai tempat dan waktu. Oleh karena itu, setiap era atau generasi selalu melahirkan cendekiawan-cendekiawan Islam yang berperan sebagai pembaharu dalam berbagai bidang keilmuan.

Salah satu tokoh yang mencuat dalam dunia keilmuan Islam pada abad ke-21 adalah Gurunda Dr. Habib Abubakar bin Ali Al-Masyhur Al-Adeni. Beliau tidak hanya dikenal sebagai pujangga yang melahirkan syair-syair indah setiap harinya, tetapi juga sebagai penulis karya ilmiah kontemporer, khususnya dalam bidang pemikiran Islam. Karya-karya fenomenal yang dihasilkannya, seperti dalam ilmu Fiqih Tahawwulat, menunjukkan kontribusi signifikan dalam mengembangkan pemikiran Islam di era kontemporer.

Mengenal Fiqih Tahawwulat

Fiqih Tahawwulat, atau Fiqih Transformasi, merupakan suatu pemahaman agama yang merangkum hal-hal terkait dengan transformasi kehidupan manusia, pergerakan alam semesta, kemajuan sains modern, hingga peristiwa-peristiwa dari masa sebelum terciptanya kehidupan hingga hari kiamat. Lingkup pemahaman ini mencakup umat Islam dan seluruh umat manusia.

Ilmu ini dirancang sebagai upaya pembaruan metode dakwah Islam untuk menghadapi berbagai tantangan kontemporer. Pendekatan yang diterapkan adalah dengan mengutamakan prinsip hikmah dan mauidhoh hasanah, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip agama yang bersifat final dan tidak dapat diubah. Keautentikan ajaran agama dijaga melalui silsilah guru-murid yang terhubung hingga kepada Rasulullah Saw.

Fiqih Tahawwulat memiliki tujuan utama untuk membekali para pelajar atau dai pemula agar memiliki kesiapan dalam menghadapi kompleksitas medan dakwah. Begitu pula, ilmu ini ditujukan untuk para akademisi yang terlibat dalam sains modern, agar mereka tidak mengabaikan peran agama dalam riset dan pemikiran mereka. Dengan demikian, Fiqih Tahawwulat menjadi sebuah landasan bagi para pemangku ilmu dan agama untuk menjembatani antara ajaran agama dan perkembangan kontemporer.

Pilar Agama Menurut Fiqih Tahawwulat

Dalam Fiqih Tahawwulat, Arkanuddin atau Pilar Agama, yang merupakan hal-hal urgen dalam agama, dapat dibagi menjadi empat. Pertama adalah Islam, dengan kelima rukunnya: syahadat, salat, puasa Ramadan, zakat, dan haji. Kedua adalah Iman, dengan keenam rukunnya: iman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, dan qadha-qadar. Ketiga adalah Ihsan, yang melibatkan aplikasi kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, hingga ia beribadah seolah melihat Allah atau senantiasa menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Keempat adalah Alamatussa’ah, yang berkaitan dengan mengetahui perihal hari kiamat dengan mengkaji tanda-tandanya.

Pembagian keempat arkanuddin ini diintisarikan dari sebuah hadits Nabi yang dikenal di kalangan ulama sebagai “ummussunnah” (induk hadits). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Dalam hadits tersebut, malaikat Jibril as. menyamar sebagai lelaki asing dan bertanya kepada Rasulullah Saw tentang Islam, Iman, Ihsan, dan alamatussaah. Setiap kali Nabi memberikan jawaban, lelaki itu mengatakan, “Kau benar.” Saat para sahabat terheran, Nabi Saw menjelaskan bahwa Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada mereka. Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa hal-hal urgen dalam agama (arkanuddin) terdiri dari empat pilar: Islam, Iman, Ihsan, dan Alamatussaah.

Fiqih Tahawwulat memberikan fokus khusus pada rukun keempat, yaitu Alamatussaah. Melalui ilmu ini, para pelajar dibimbing untuk memahami tanda-tanda kiamat dengan mengkaji perkembangan zaman, cara menyikapinya, serta tantangan dakwah di medan yang terus berubah. Fokus kajian mencakup tiga aspek utama: pertama, kajian spesifikasi era Rasulullah Saw (khususiyat marhalah istidlaliyah); kedua, kajian seputar ayat Al-Qur’an atau hadits yang berkisah tentang kejadian-kejadian yang akan datang (nusus istibaqiyah); ketiga, mengkaji ayat-hadits yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, mulai dari kisah-kisah umat manusia sebelum Islam, hingga awal mula penciptaan alam semesta (nusus istiqraiyah).

Prinsip Dakwah ala Fiqih Tahawwulat

Dalam Fiqih Tahawwulat, yang juga dikenal sebagai Fiqih Mutaghayyirat, penekanan utamanya adalah pada solusi untuk berbagai problematika kontemporer dan cara menyikapinya, serta metode dakwah dalam menghadapi tantangannya. Fiqih Tahawwulat menegaskan tiga prinsip dakwah, yaitu:

  1. Hifdzul aidi minad dam (menjaga tangan dari pertumpahan darah): Menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan mencegah pertumpahan darah, sehingga tindakan atau langkah yang diambil tidak membahayakan keselamatan dan kesejahteraan umat.
  2. Hifdzul alsinah minadz dzam (menjaga lisan dari caci maki): Menekankan pentingnya berbicara dengan baik, santun, dan menghindari ujaran yang merugikan, sehingga dakwah dapat disampaikan dengan cara yang baik dan efektif.
  3. Hifdzul qulub minal ham (menjaga hati dari ambisi duniawi): Menekankan pentingnya menjaga niat dan hati agar tidak terpengaruh oleh ambisi duniawi, sehingga dakwah dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Dalam Fiqih Tahawwulat, terdapat dua bab penting yang menjadi pokok andalannya, yaitu:

  1. Sunnah Mawaqif: sebagai bagian penting dari Fiqih Tahawwulat, merujuk pada langkah-langkah dan pendekatan yang diambil oleh Rasulullah dan Khulafaurrasyidin dalam menghadapi berbagai permasalahan. Baik itu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat maupun yang bertentangan dengannya, mereka selalu mengedepankan kelapangan akhlak dan penuh kebijaksanaan. Pendekatan ini menggambarkan keteladanan Rasulullah dan pemimpin-pemimpin awal Islam dalam menanggapi situasi yang kompleks dengan penuh hikmah, menjadi contoh bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan berbagai tantangan kontemporer.
  2. Sunnah Dilalah: sebagai bagian integral dari Fiqih Tahawwulat, mencakup ketentuan-ketentuan syariat yang mengarahkan cara menghadapi problematika kontemporer, situasi yang belum pernah terjadi di masa lalu. Dalam menghadapi berbagai opsi tindakan atau memilih meninggalkannya, Sunnah Dilalah merinci berbagai sikap dan langkah yang dicontohkan oleh Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Baik yang tampil secara eksplisit maupun implisit, Sunnah Dilalah menjadi landasan bagi umat Islam dalam menyikapi isu-isu modern dengan bijak, menggambarkan kebijaksanaan dan keberlanjutan ajaran Islam dalam menghadapi dinamika zaman.

Contoh Sunnah Mawaqif mencakup berbagai sikap dan langkah Rasulullah dan para sahabat dalam menyikapi situasi tertentu. Sebagai contoh, dalam berinteraksi dengan para munafiq di lingkup kaum Muslimin, Rasulullah menunjukkan kelapangan akhlak dan kebijaksanaan. Meskipun mengetahui identitas para munafiq, beliau tidak mengambil tindakan tegas seperti membunuh atau memerangi mereka. Tindakan ini diambil untuk menghindari kesalahpahaman dari pihak non-Muslim yang mungkin beranggapan bahwa Rasulullah memerangi sahabatnya sendiri.

Pada saat pembebasan kota Makkah (fathu Makkah), Rasulullah menunjukkan sikap memaafkan terhadap kaum musyrik Makkah yang sebelumnya telah memerangi dan menyiksa pengikutnya selama lebih dari 20 tahun. Alih-alih membalas dendam, Rasulullah memilih untuk memaafkan mereka secara cuma-cuma, menunjukkan kedermawanan dan keteladanan dalam penanganan konflik.

Contoh lain datang dari Sayyidina Ibnu Abbas, yang dalam memberikan fatwa menunjukkan pemahaman mendalam terhadap konteks dan niat seseorang. Ketika ditanya apakah seorang pembunuh dapat diterima taubatnya, Ibnu Abbas memberikan jawaban yang berbeda tergantung pada konteksnya. Orang pertama yang melakukan pembunuhan dan ingin bertaubat mendapat jawaban positif, sementara orang kedua yang berniat membunuh mendapat jawaban negatif.

Selain itu, sikap Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam menerima sepenuhnya keputusan khilafah yang diberikan kepada sahabat lainnya menunjukkan kematangan politik dan kebijaksanaan untuk menjaga stabilitas masyarakat dan maslahat umat Muslim.

Begitu juga dengan Sayyidina Hasan bin Ali yang rela melepas jabatan khalifahnya meskipun mayoritas umat Muslim telah berbaiat kepadanya, dan Sayyidina Husein bin Ali yang memilih keluar dari Makkah menuju Iraq tanpa berniat berperang, menunjukkan upaya meminimalisir keributan dan mencegah pertumpahan darah di antara sesama umat Muslim di tanah suci Makkah.

Contoh Sunnah Dilalah mencakup penerapan prinsip-prinsip hukum syariat dalam menghadapi situasi kontemporer yang tidak memiliki aturan yang eksplisit dalam syariat Islam. Suatu problematika dievaluasi dengan mempertimbangkan hukum asli, maqasid syariah (tujuan-tujuan syariat), dan konsekuensi dari permasalahan tersebut.

Pertimbangan maslahat (kepentingan) dan mafsadat (kerugian) juga menjadi bagian dari Sunnah Dilalah. Jika suatu hal tidak memiliki aturan hukum yang jelas, maka penilaian bisa dilakukan berdasarkan maslahat dan mafsadat, serta konsekuensi atau dampak dari permasalahan tersebut. Sebagai contoh, jika awalnya suatu hal dianggap boleh, namun jika difatwakan kebolehannya dapat menimbulkan dampak negatif, maka seyogyanya pintu kebolehan tersebut ditutup, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Abbas dalam menjawab pertanyaan tentang taubatnya pembunuh.

Dalam Fiqih Tahawwulat, konsep ini juga membantah pemahaman keliru bahwa segala sesuatu yang tidak ada atau tidak dilakukan pada zaman Rasulullah adalah bid’ah. Agama Islam dianggap sebagai ajaran yang sempurna, namun hal-hal baru atau kontemporer yang sesuai dengan langkah dan sikap Nabi serta khulafa-nya, meskipun secara implisit, termasuk dalam kategori sunnah dilalah.

Sebagai contoh penerapan Sunnah Dilalah, para ulama merayakan momen maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam perayaan ini, mereka mengkaji perjalanan hidup, perjuangan, akhlak, kasih sayang, serta sifat-sifat terpuji Nabi. Tujuan dari perayaan maulid adalah untuk mendekatkan umat Islam kembali kepada nilai-nilai kecintaan, kerinduan, dan semangat dalam mengikuti jejak Rasulullah.

Penerapan Sunnah Dilalah juga mencakup sikap terhadap kemajuan dan kecanggihan teknologi serta media modern. Fiqih Tahawwulat mengajarkan pentingnya menyikapi perkembangan ini dengan bijak, memanfaatkannya sebagai media dakwah demi agama, sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan dalam berpikir.

Fiqih Tahawwulat, Agama dan Sains

Dalam ilmu Fiqih Tahawwulat, Habib Abubakar mempersembahkan satu bab khusus yang mendalami bagaimana agama berada di hadapan kemajuan pesat sains modern. Kajian ini melibatkan berbagai aspek, mulai dari kebudayaan, peradaban, sosiologi, biologi, hingga astronomi. Pemahaman yang diperjuangkan adalah bahwa umat Islam seharusnya menerima manfaat dan isi positif dari hasil penelitian sains, bahkan jika itu berasal dari peneliti nonmuslim. Agama Islam, jauh dari pertentangan dengan fakta sains, malah seringkali menunjukkan mukjizatnya melalui fakta-fakta yang baru diakui oleh ilmuwan setelah berabad-abad.

Penelitian sejarah alam semesta, terutama kajian metafisika yang sulit diurai oleh akal manusia, menjadi fokus dalam bab ini. Ini mencakup masa lampau, masa kini, dan bahkan masa depan, seperti sejarah terciptanya alam semesta, awal kehidupan manusia, hingga peristiwa setelah kematian dan hari kiamat.

Kehadiran sumber informasi yang dapat dipastikan kebenarannya menjadi krusial dalam menghadapi aspek-aspek metafisika yang sulit diterka oleh akal manusia. Agama Islam, dengan sumbernya Alquran yang tetap terjamin keautentikannya hingga kini, menjadi jawaban atas kebutuhan ini. Alquran tidak hanya bebas dari distorsi, tetapi juga tak tertandingi dalam segala aspek, termasuk bahasa, ilmiah, dan mukjizat yang terkandung di dalamnya. Dalam Fiqih Tahawwulat, Alquran ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan apa pun yang dihasilkan oleh ilmu sains. Ini karena sains seringkali berupa teori atau asumsi yang masih perlu dikritisi, bahkan ada kasus di mana temuan sains sebelumnya bertentangan dengan riset sains terbaru. Sementara itu, Alquran tetap konsisten dan tidak pernah bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam sejarah umat manusia.

Kesimpulan

Sebenarnya, ajaran Fiqih Tahawwulat, baik dari segi substansi maupun penerapannya, telah hadir sejak zaman Nabi, para sahabat, dan ulama salaf yang mengikuti jejak mereka. Ilmu ini telah dipraktikkan dalam menghadapi berbagai problematika. Namun, sayangnya, urgensi ajaran ini mulai terabaikan oleh umat Islam zaman sekarang, meskipun di era ini Fiqih Tahawwulat sangat diperlukan. Oleh karena itu, Habib Abubakar menyusun kembali ajaran ini hingga menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Pendekatan ini sejalan dengan sejarah munculnya berbagai ilmu syariat lainnya. Sebagai contoh, ilmu Nahwu, yang pada masa lalu telah diterapkan secara mendalam dalam kehidupan masyarakat Arab. Namun, mengalami kemerosotan sehingga perlu direstrukturisasi menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Begitu pula dengan ilmu Usul Fiqih, yang ajarannya telah dipraktekkan oleh para imam mazhab terdahulu. Namun, kebutuhan untuk memahami ilmu ini di era setelahnya semakin mendesak, dan akhirnya ajaran ini dibukukan menjadi sebuah disiplin ilmu yang terstruktur.

Pembahasan mengenai Fiqih Tahawwulat dalam ulasan ini hanya menggarap sebagian kecil dari kerangka yang luas. Fiqih Tahawwulat memiliki cakupan yang sangat luas, dan Habib Abubakar sendiri telah menuliskan belasan buku yang membahasnya. Untuk pengenalan dasar terhadap Fiqih Tahawwulat, terdapat buku Nubzah Sughra sebagai pijakan awal, diikuti oleh buku-buku seperti Al-Iqlid, Talid wa Tharif, Usus Munthalaqat, dan masih banyak lagi. Ini hanya sebagian kecil dari warisan intelektual yang ditinggalkan oleh Habib Abubakar, dan tentu masih banyak aspek yang belum dijelajahi. Wallahu ta’ala a’lam.


Ahmad Zaki Anshari (CSSMoRA UIN Wali Songo Semarang 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *