Kemajuan teknologi membuka pintu luas bagi akses manusia dalam memperoleh pengetahuan, termasuk dalam mencari ilmu agama. Fenomena mengaji daring melalui berbagai media sosial, terutama di kalangan milenial, menjadi tren yang signifikan. Meskipun demikian, prihatin muncul karena tidak semua ustadz yang tampil di ruang digital memiliki kedalaman ilmu Syari’ah Islamiyah. Beberapa di antara mereka bahkan menimbulkan polemik karena menyampaikan ajaran yang tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk lebih selektif dalam memilih seorang guru. Meskipun ada permasalahan terkait kapasitas dan sanad keilmuan, ironisnya, mereka terkadang dikerubungi oleh pengikut fanatik.
Prinsip dasar dalam mencari ilmu agama adalah “Sebaik-baik Seorang Pelajar adalah yang memiliki guru, dan gurunya memiliki guru lagi, dan seterusnya tersambung (wushul) dengan guru-guru lainnya.” Konsep ini mengandung nilai penting dalam mencari ilmu agama, yang dikenal sebagai sanad keilmuan. Sanad atau jaringan mata rantai keilmuan memiliki peran krusial dalam Islam, karena di hari kiamat, selain dimintai pertanggungjawaban, manusia juga akan ditanya dari mana mereka mengambil ilmu dan praktek agama. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, “Dan Aku akan menanyaimu Orang-orang yang diutus kepada mereka dan sungguh Aku akan meminta laporan para rasul.” (QS Al A’raaf: 6).
Sanad keilmuan juga sering disebut sebagai “Al-Atsar,” mengacu pada jaringan yang menghubungkan murid dengan guru hingga mencapai Rasulullah SAW. Ini menegaskan pentingnya hubungan linier dan terpercaya dalam mentransmisikan ilmu agama dari generasi ke generasi.
Imam Abdullah bin Mubarak RA (wafat 181 H) menekankan pentingnya sanad dalam agama dengan mengatakan, إن الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء “Sanad itu bagian dari agama. Kalau lah tidak ada sanad, pasti siapapun bisa berkata apa yang dia kehendaki” (Muqaddimah Shahih Muslim). Beliau juga memberikan perumpamaan yang menggambarkan betapa pentingnya sanad dalam mencari ilmu agama, مثل الذي يطلب أمر دينه بلا إسناد كمثل الذي يرتقي السطح بلا سلم”Perumpamaan orang yang mencari ilmu agama tanpa sanad, seperti orang yang naik ke atap sebuah bangunan tanpa tangga” (Riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al Kifayah fi Ilmi Riwayah hal.393).
Imam Sufyan Ats-Tsauri RA (wafat 161 H) turut menegaskan pentingnya sanad sebagai senjata bagi orang beriman. Beliau menyatakan, الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه السلاح فبأي شيء يقاتل”Sanad adalah senjatanya orang beriman. Apabila tidak ada senjata tersebut, maka dengan apa mereka berperang melawan syetan dan syubhat?” (Riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Syaraf Ashabil Hadits hal.42). Pernyataan ini menegaskan bahwa keberadaan sanad memainkan peran vital dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran agama.
Dalam dunia keilmuan, sanad harus dapat dipertanggungjawabkan melalui setiap mata rantai pembelajarannya dan terus bersambung hingga mencapai guru pertamanya atau sumber yang mengajarkannya suatu perkara keislaman. Oleh karena itu, menciptakan amalan dalam agama tanpa sumber atau guru yang mengajarkannya adalah tindakan yang sangat terlarang, terlebih jika dalam amalan tersebut mencantumkan nama Allah dan Rasulullah. Imam al-Ghazali, dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin, mengungkapkan pemikirannya mengenai hal ini:
فكذلك المريد يحتاج إلى شيخ وأستاذ يقتدى به لا محالة ليهديه إلى سواء السبيل فإن سبيل الدين غامض وسبل الشيطان كثيرة ظاهرة فمن لم يكن له شيخ يهديه قاده الشيطان إلى طرقه لا محالة
“Demikianlah seorang murid membutuhkan seorang guru dan ustadz yang dapat diikuti secara pasti agar dapat dipandu ke jalan yang lurus. Pasalnya, jalan agama itu bersifat tersembunyi, sementara jalan-jalan setan banyak dan terlihat jelas. Barangsiapa yang tidak memiliki seorang guru yang memberikan petunjuk, maka setan pasti akan menuntunnya ke jalannya yang sesat.”
Ahmad Zaki Anshari (CSSMoRA UIN Wali Songo Semarang 2023)