Melepas Belenggu Kekerasan Dan Memperjuangkan Hak Perempuan

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan tanpa memiliki pilihan dalam hal tersebut. Meskipun ada individu yang mungkin ingin mengubah jenis kelaminnya karena berbagai faktor, secara biologis manusia dibedakan menjadi dua jenis kelamin. Pada zaman jahiliyah, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan merugikan. Sistem patriarki yang sangat kuat pada masa itu bahkan mendorong praktik mengubur bayi perempuan sebagai tradisi di kalangan masyarakat Arab.

Dalam realitas kehidupan kita, pandangan masyarakat terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan semakin mengakar, menempatkan perempuan sebagai pihak yang inferior, bahkan oleh perempuan sendiri. Paradigma ini sebenarnya menjadi permasalahan dan salah satu faktor utama dominasi laki-laki atas perempuan. Kesepakatan bahwa semua ini adalah kodrat Tuhan seringkali menjadi pembenaran. Padahal, kodrat berdasarkan jenis kelamin berkaitan dengan fungsi reproduksi, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui, yang memang tidak bisa dialihkan kepada laki-laki. Namun, tugas dan peran dalam masyarakat tidak bersifat gender. Tidaklah menjadi kodrat jika seorang pemimpin harus menjadi laki-laki. Oleh karena itu, secara pribadi, kebebasan untuk berperan tidak hanya dimiliki oleh laki-laki.

Pada 30 November 2023, Diskominpo Kota Bandung melaporkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini tidak hanya menjadi kendala bagi partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial, tetapi juga dapat merusak kepercayaan diri mereka, dengan dampak serius baik secara fisik maupun psikologis. Banyak perempuan yang menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), bahkan hingga merenggut nyawa mereka.

Kabar terbaru pada 7 Desember 2023 mencatat kasus seorang ibu dari empat anak yang tewas karena dianiaya oleh suaminya sendiri. Korban sebelumnya telah dibawa ke Rumah Sakit Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ironisnya, keempat anaknya juga menjadi korban KDRT, ditemukan meninggal dunia dalam keadaan terkunci di sebuah kamar. Kejadian ini tentu memerlukan perhatian dari seluruh lapisan masyarakat. Kasus semacam ini tampaknya terjadi secara rutin setiap minggunya.

Membahas tentang diskriminasi terhadap perempuan, kita tidak dapat melupakan salah satu tokoh aktivis buruh pada masa Orde Baru, yaitu Marsinah. Ia adalah pekerja keras dan penggerak buruh di PT. Catur Putra Surya, sebuah pabrik arloji di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah bersama rekan-rekannya menuntut kenaikan upah sesuai dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur, meminta kenaikan 20% dari gaji pokok.

Masalah bagi buruh perempuan pada saat itu terkait dengan hak normatif yang tidak mereka terima, seperti cuti bagi wanita hamil dan menyusui, serta cuti haid yang sering diabaikan. Ketika mereka memaksa mengambil cuti, upah gaji akan dipotong, bahkan lembur hanya dibayar dengan makanan tanpa upah. Selain itu, upah perempuan selalu lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, didasarkan pada anggapan bahwa perempuan hanya membantu suami yang menjadi pencari nafkah utama. Perempuan juga dianggap lemah fisik dan kurang tanggap dalam pekerjaan.

Marsinah pada saat itu hanya menuntut apa yang dianggapnya sebagai haknya. Namun, perusahaan tidak memenuhi tuntutannya. Akhirnya, ia dan beberapa rekan berencana untuk mengundurkan diri sebagai buruh di pabrik tersebut. Setelah mengajukan surat pemaksaan pengunduran diri kepada direksi, Marsinah menghilang ke suatu tempat keesokan harinya. Tiga hari kemudian, ia ditemukan tidak bernyawa di sebuah ladang milik petani. Tubuhnya penuh dengan luka dan lebam, diduga ia mengalami pelecehan seksual sebelum dibunuh.

Pembunuhan Marsinah menjadi kontroversial dan dalangnya masih menjadi misteri. Sebelumnya, seorang tersangka dari petinggi PT. Catur Putra Surya telah ditemukan. Marsinah, dengan pengorbanannya, menjadi pahlawan pembela buruh Indonesia. Meskipun kasus ini termasuk pelanggaran HAM berupa penganiayaan dan pembunuhan, Marsinah tetap diingat sebagai simbol perjuangan bagi hak-hak buruh perempuan.

Melihat kenyataan bahwa hingga saat ini masih terjadi banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, keberhasilan hukum tata negara dalam mengatasi masalah ini dianggap masih kurang memadai. Oleh karena itu, perlindungan hak-hak dan pencapaian keadilan untuk perempuan harus terus diperjuangkan, bukan hanya melalui regulasi semata, tetapi juga dengan meningkatkan kemampuan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan serta implementasi peraturan Hak Asasi Manusia.

Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya pelanggaran terhadap regulasi negara, namun juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 G ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap individu berhak atas perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya. Mereka juga berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam menjalankan hak-hak dasar mereka.

Dalam konteks agama Islam, perbuatan buruk terhadap perempuan dilarang secara tegas, sebagaimana terdapat dalam hadits yang menyatakan, إِنَّ اللّٰهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ اَلْأُمَّهَاتِ, وَوَأْدَ اَلْبَنَاتِ, وَمَنْعًا وَهَاتِ   “Allah mengharamkan durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup seperti tradisi zaman jahiliyyah, dan menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya” (HR. Bukhari, no. 5975 dan Muslim, no. 593).

Oleh karena itu, perempuan memiliki hak untuk membela diri dan memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Hak-hak perempuan juga merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh masyarakat, negara, dan sistem hukum. Upaya bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip ini akan membawa perubahan positif dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh individu, tanpa memandang jenis kelamin.


Ummi Sumirat (CSSMoRA Ma’had Aly Kebon Jambu 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *