Tradisi dan Agama

Dalam suatu masyarakat, tradisi seringkali tumbuh dari perspektif seorang tokoh atau pembesar di lingkungannya. Keyakinan akan kebenaran tradisi ini lambat laun meresap kuat dalam jiwa masyarakat, meskipun banyak yang kurang mengetahui asal usul tradisi tersebut. Banyak individu cenderung ‘mengikuti’ jejak para pendahulu mereka, bahkan menjadikan tradisi sebagai panduan untuk menentukan arah kehidupan. Kendala muncul ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta rasional, di mana mereka cenderung menolak mentah-mentah fakta tersebut karena tradisi telah mengakar begitu kuat dalam keyakinan mereka.

Dalam konteks ajaran Islam, terdapat tradisi yang dianggap sebagai kewajiban untuk diyakini. Padahal, asal-usul tradisi tersebut mungkin hanya sebatas yang diizinkan atau mubah. Perspektif terhadap suatu tradisi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti geografis, iklim, sifat-sifat penduduk, atau mata pencaharian masyarakat pada saat itu. Hukum Islam bersifat fleksibel dan dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi. Namun, tidak semua hukum dapat berubah mengikuti perkembangan zaman; hanya hukum terkait adat dan tradisi yang bersifat fleksibel. Konsep ini sesuai dengan salah satu dawuh ulama:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ: إِنَّ اْلأَحْكَامَ الَّتِيْ تَتَغَيَّرَ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ هِيَ اْلأَحْكَامُ اْلمُسْتَنَدَةُ عَلَى اْلعُرْفِ وَاْلعَادَةِ، لِأَنَّهُ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ تَتَغَيَّرَ اِحْتِيَاجَاتُ النَّاسِ.

“Tidak diperselisihkan lagi bahwa suatu hukum dapat berubah sebab berkembangnya zaman. Namun, hukum yang dapat berubah hanyalah hukum yang berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat. Karena semakin berkembangnya zaman, kebutuhan manusia juga akan berinovasi.”

Tradisi yang telah kokoh di masyarakat memang sulit untuk diubah. Oleh karena itu, Islam mengambil pendekatan bijaksana dengan tidak langsung menyalahkan tradisi tersebut untuk menghindari kontroversi dengan ajaran agama. Secara perlahan, Islam berusaha merasionalisasikan tradisi dengan mengimplementasikannya melalui dalil-dalil nash. Dengan pendekatan ini, agama tidak hanya bersinergi dengan tradisi, melainkan juga menciptakan keselarasan di antara keduanya. Dapat diibaratkan bahwa tradisi adalah kepala dan agama datang sebagai topi. Sama seperti tidak mungkin kita menyesuaikan kepala agar cocok dengan topi, tetapi sebaliknya, topi harus disesuaikan agar sesuai dengan kepala. Pendekatan ini mencerminkan upaya Islam untuk menjaga keseimbangan dan keserasian antara nilai-nilai agama dan tradisi yang telah ada dalam masyarakat.


Dalam konteks Islam, terdapat berbagai situasi di mana tradisi sering kali mencampuradukkan dengan ajaran agama, khususnya dalam kaitannya dengan perempuan. Tidak terkecuali dalam ranah ubudiyah dan aspek sosial. Beberapa kasus konkret yang dapat diidentifikasi termasuk;

Dua Banding Satu

Dalam periode Jahiliyah, perempuan terpinggirkan dan kehilangan hak-hak dasarnya, termasuk hak bersuara, hak untuk membuat keputusan, dan hak untuk bekerja. Mereka dianggap sebagai entitas tanpa nilai, dapat diwariskan dan diperdagangkan seperti barang. Bahkan dalam sistem pewarisan, perempuan tidak diberikan bagian yang setara, melainkan dianggap sebagai harta yang dapat diwariskan. Contohnya, seorang janda yang ditinggalkan suaminya hanya dapat mewariskan harta kepada anaknya.

Namun, dengan munculnya Islam, perlahan-lahan tradisi tersebut terkikis. Islam memberikan perubahan signifikan terkait hak perempuan. Dalam konteks pewarisan, perempuan yang sebelumnya tidak mendapatkan bagian sama sekali, sekarang diberikan hak setengah dari bagian laki-laki. Pertanyaan muncul, apakah pembagian satu bagian laki-laki setara dengan dua bagian perempuan? Menurut ajaran agama, ini dianggap sebagai langkah yang adil.

Penting untuk dicatat bahwa pembagian ini tidak tanpa alasan. Islam mengakui bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab finansial yang lebih besar, termasuk memenuhi kebutuhan pribadi dan memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sementara itu, perempuan hanya perlu mengelola harta warisnya untuk kebutuhan pribadinya. Dengan demikian, pembagian yang mungkin terlihat tidak seimbang ini memiliki dasar keadilan dan kebutuhan sosial yang diakui dalam ajaran agama.

Haid

Pada masa Jahiliyah, perempuan yang mengalami menstruasi dianggap sebagai makhluk kotor oleh masyarakat. Suami-suami pada saat itu bahkan menjauhkan diri dari istri mereka, meyakini bahwa perempuan yang sedang haid adalah kotor dan najis. Syekh Muhammad Ali As-Shobuni mencatat bahwa kaum Yahudi di masa lalu bahkan enggan bertemu dengan istri-istri mereka, menghindari kebersamaan dalam makan dan minum. Ketika hal ini ditanyakan kepada Rasulullah, beliau menyarankan para sahabat untuk tetap berbagi hidangan dengan istri yang sedang haid, meskipun dilarang untuk melakukan hubungan intim (jima’) pada saat tersebut. Rasulullah menjelaskan bahwa hubungan intim dalam kondisi haid tidak hanya berdampak buruk bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.

Seiring berjalannya waktu, paradigma ini mulai berubah. Perkembangan zaman membawa inovasi seperti pembalut, yang membantu mengontrol darah menstruasi. Dengan adanya solusi ini, perbedaan antara perempuan yang sedang haid dan yang suci menjadi kurang relevan. Saat ini, perempuan dapat beraktivitas dalam ruang publik tanpa harus dijauhi karena menstruasi. Ini mencerminkan evolusi sosial dan kesadaran akan hak-hak perempuan dalam perkembangan masyarakat modern.

Perbudakan

Pada masa awal Islam, praktik menjadikan tawanan perang sebagai budak merupakan suatu tradisi yang umum. Sistem hukum sosial yang menindas kaum lemah telah merajalela, di mana aturan “siapa yang kuat, dia yang menang” menjadi norma. Budaya semacam ini mencerminkan budaya jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Meskipun demikian, Islam tidak langsung menghapus praktik perbudakan, karena upaya langsung semacam itu dapat menimbulkan pertentangan besar dalam masyarakat.

Islam, dengan pendekatan yang cerdas, tidak menghilangkan budaya perbudakan secara tiba-tiba. Sebaliknya, Islam secara perlahan namun pasti meminimalisirnya. Salah satu strategi yang diadopsi adalah menetapkan hukuman bagi pelanggar sumpah dengan memberikan kewajiban memerdekakan budak. Konsep memerdekakan budak juga ditekankan dalam konteks pelanggaran lainnya, menjadikannya sebagai nilai yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam berlomba-lomba untuk memerdekakan budak, menciptakan sebuah perubahan gradual.

Dengan tekad dan motivasi yang kuat dari umat Islam untuk memprioritaskan pembebasan budak, perlahan namun pasti, institusi perbudakan menghilang. Proses ini menggambarkan evolusi sosial yang didorong oleh nilai-nilai Islam yang mendorong pembebasan budak sebagai suatu tindakan mulia.

Poligami

Pada masa lampau, praktek memiliki puluhan hingga ratusan istri oleh seorang laki-laki dianggap sebagai sesuatu yang umum. Anggapan masyarakat pada saat itu menempatkan perempuan sebagai suatu komoditas yang dapat dimiliki dalam jumlah sebanyak apapun. Budaya poligami sudah ada jauh sebelum Islam muncul, dan sebagai contoh, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki 1000 istri, terdiri dari 700 perempuan merdeka dan 300 hamba sahaya.

Namun, seiring perkembangan waktu hingga masa kedatangan Islam, tradisi memiliki istri banyak perlahan-lahan dihilangkan. Islam, melalui Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3, menetapkan batasan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi hingga empat perempuan, dengan syarat bahwa dia mampu berlaku adil terhadap mereka. Jika tidak mampu berlaku adil, seorang laki-laki hanya diizinkan menikahi satu perempuan. Meskipun demikian, pada ayat selanjutnya (An-Nisa ayat 129), Islam mengakui kesulitan untuk berlaku adil secara mutlak terhadap istri-istri. Oleh karena itu, secara tidak langsung, Islam lebih menganjurkan poligami hanya jika laki-laki dapat memperlakukan istri-istrinya secara adil, namun menyadari bahwa adil sempurna dalam praktik sehari-hari mungkin sulit dicapai.

Dengan demikian, Islam pada akhirnya cenderung mendukung poligami sebagai pilihan, tetapi dengan penekanan pada keadilan yang sulit dicapai, memberikan ruang bagi pemikiran monogami sebagai bentuk yang lebih realistis dan adil dalam praktiknya.


Jika kita memeriksa sejarah penetapan hukum dalam Islam dengan lebih rinci, kita akan memahami bahwa Islam tidak selalu menetapkan hukum secara langsung. Penetapan hukum dapat memiliki dampak yang signifikan pada tradisi yang telah tertanam kuat. Tujuan Islam bukanlah menghapuskan tradisi yang sudah berakar sejak lama, melainkan mencari solusi untuk menyelaraskan tradisi tersebut dengan ajaran Islam. Islam menunjukkan sifatnya yang fleksibel, tidak terpaku pada satu hukum tertentu, tetapi lebih mempertimbangkan manfaat dan menghindari dampak negatif.

Seharusnya, sikap kita pun demikian. Tidak selalu bersikeras agar pendapat kita didengar dan disetujui oleh orang lain. Kita perlu secara perlahan menyatu dengan kondisi saat ini, dengan saling bertukar pendapat dan mendukung satu sama lain. Kita harus bersikap loyal dan menghindari sikap egois. Kesuksesan terletak pada kerjasama, di mana kita harus bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Seperti sapu yang hanya berguna jika semua batangnya digunakan, kita juga harus bersatu untuk mencapai keberhasilan. Inilah simbol kebersamaan yang penting untuk dihayati.


Farhan Danzo (CSSMoRA Ma’had Aly Kebon Jambu 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *