Benang Rajut Indah Itu Mahasantri CSSMoRA

Masa depan sebuah bangsa menjadi beban tanggung jawab bersama, terutama bagi generasi muda yang dianugerahi semangat nasionalisme, kompetensi, dan kreativitas unik sebagai modal untuk mengejar cita-cita dan menghadapi segala tantangan. Dalam konteks ini, fokus pada komunitas santri mengungkap karakter-karakter futuristik yang terpancar dari semangat mereka.

Gus Mus, atau KH. A. Musthofa Bisi, seorang kiai yang memahami kompleksitas keahlian, menggambarkan pembentukan seorang santri dengan penuh kasih sayang. Mereka dididik untuk menjadi mukmin yang kokoh, tidak tergoyahkan oleh godaan pergaulan, kepentingan, atau perbedaan yang beragam. Sejarah membuktikan bahwa santri dalam komunitasnya memiliki cinta yang mendalam terhadap negaranya, tercermin dalam partisipasi mereka dalam memperjuangkan, menjaga, dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Meskipun zaman terus berkembang, santri tetap berupaya untuk tetap eksis dan responsif terhadap segala bentuk perubahan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, sebagai contoh, menjadi bukti konkret akan pentingnya peran seorang santri sebagai “role model” kader bangsa yang memiliki potensi di berbagai aspek dan bidang.

CSSMoRA

CSSMoRA, atau Community of Scholars of Ministry of Religious Affairs, adalah komunitas mahasantri penerima beasiswa pendidikan di berbagai perguruan tinggi terkemuka di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Sebagai wadah bagi para Santri Penerima Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di seluruh Indonesia, CSSMoRA mengemban misi sosial kepesantrenan dengan kokoh berpegang pada ideologi Pancasila. Di dalamnya, mahasantri berkumpul untuk merealisasikan visi dan misi sebagai penerima beasiswa berprestasi.

Dengan latar belakang yang beragam, termasuk bahasa, budaya, suku, dan ras, mahasantri CSSMoRA mencerminkan pluralitas bangsa Indonesia. Setiap anggota komunitas ini membawa pengalaman interaksi yang terbentuk dari beragam lingkungan, baik secara nyata maupun virtual (media sosial), yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan mereka.

Fakta ini, sayangnya, dapat menciptakan potensi konflik, terutama di antara mereka yang berasal dari suku mayoritas. Michael Scott Kimmel, seorang sosiolog Amerika, dalam bukunya “Angry White Men: American Masculinity at the End of an Era,” menggambarkan bahwa kelompok mayoritas cenderung mempertahankan kekuasaan dan dominasi sosial. Fenomena ini sering disebut sebagai praktik feodalisme dalam tataran sosial.

Dengan moto “Loyalitas Tanpa Batas,” CSSMoRA berupaya menetralkan proses dominasi sosial dan menciptakan rajutan benang pemersatu yang indah dengan paduan warna yang beragam. Komunitas ini melihat perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebagai konflik. Di dalam CSSMoRA, perbedaan menjadi kesatuan, rasa asing menjadi kasih, dan saling peduli menjadi nilai utama. Kehadiran mahasantri dengan keunikan bakat dan keahlian mereka menjadi daya kolaboratif yang unik. Berdialog dengan beragam ide dan gagasan, komunitas ini mengusung prinsip bahwa orang “berkasta tinggi” adalah mereka yang berbicara tentang gagasan, bukan sekadar menggibah.

CSSMoRA menegaskan bahwa musuh bersama saat ini adalah kebodohan dan pandangan sempit yang fanatik terhadap primordialisme. Solidaritas yang diperkuat oleh prinsip kekeluargaan dalam CSSMoRA menjadi landasan bagi generasi muda bangsa untuk menjalankan tanggung jawab progresif. Meskipun latar belakang kita berbeda, solidaritas kita seirama, menyatukan kita dalam menghadapi tantangan masa depan.


Ahmad Rubayu (CSSMoRA Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *