Saya pernah mendengar bahwa KH. Maimoen Zubeir kurang menyukai seseorang yang mengenakan peci putih tanpa pernah menunaikan ibadah haji. Demikian pula, Syekh Ibrahim al-Baijuri tidak terlalu menyukai gaya berjalan agak membungkuk yang sering dipertontonkan oleh orang muda meniru gaya seorang syekh. Beliau bahkan pernah menegur seorang muda yang berjalan seperti seorang guru besar dengan pesan, “Berjalanlah seperti orang pada umumnya, jangan dibuat-buat.”
Di daerah saya, memakai sorban dan bergaya ‘syekh’ (tamasyukh) oleh anak muda dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai atau ‘kemlinti,’ terutama jika sampai memakai tongkat. Meskipun penampilan ini mungkin tampak seolah-olah sesuai dengan riwayat dan cerita dari para ulama, kenyataannya lebih banyak menunjukkan sikap takabur daripada upaya mengikuti sunnah atau ‘madzhar’ ulama.
Tradisi kita tidak terbiasa menampilkan penampilan semacam itu kecuali pada mereka yang dianggap sudah mencapai tingkat tertentu. Sebagai contoh, perumpamaan “تزببت وانت حصرم” (“Kamu menjadikan dirimu seolah anggur yang matang, padahal masih belum siap petik”) menggambarkan seseorang yang belum mencapai pangkat tertentu namun menyatakan dirinya setara dengan mereka yang sudah mencapainya.
Kisah Abu al-Fath Utsman bin Jinni dan Abu Ali al Farisi juga memberikan pelajaran berharga. Ibnu Jinni, meskipun muda, duduk mengajar namun gagal menjawab pertanyaan problematika sharaf dari Abu Ali. Sebagai respons, Abu Ali menyatakan, “تزببت وانت حصرم” (“Kamu menjadikan dirimu seolah anggur yang matang, padahal masih belum siap petik”). Abu Ali meninggalkan Ibnu Jinni, dan selama 40 tahun belajar pada Abu Ali.
Perumpamaan tentang anggur yang melewati tiga fase, Hisrim (حصرم), ‘Inab (عنب), dan Zabib (زبيب), mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa dan memahami bahwa setiap fase memiliki prosesnya sendiri. Mempercepat sesuatu sebelum masanya dapat berakibat pada keluputan, kesalahan, atau kekeliruan. Dalam kaidah, “من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه” (“Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya, ia akan dihukum tak akan bisa menggapainya”). Tergesa-gesa juga merupakan bagian dari tipu daya syaithan (“انما العجلة من الشيطان” – “Tergesa-gesa adalah bagian dari tipu daya syaithan”).
Semoga tulisan ini memberikan pemahaman tentang pentingnya menghormati proses dan tidak tergesa-gesa dalam mencapai suatu pangkat atau pengetahuan. Wallahu A’lam.
Ahmad Zaki Anshari (CSSMoRA UIN Wali Songo 2023)