Aku mengenang, Bu,
Di awal perjalanan, saat kau menuntunku ke sini.
Dan setelah itu, hari-hari berlalu dengan tangis tersedu-sedu,
Rindu padamu membuncah di mataku.
Kini pun, air mata masih mengalir,
Meski waktu dan usia telah membentuk garis-garis di wajah ini.
Belum juga kutorehkan kebanggaan bagimu,
Sebagaimana kau kira dahulu.
Dulu, tangis itu tercipta karena kehilangan pelukanmu,
Belai halus tanganmu, yang menemani tidur malamku.
Kini, tangis itu hadir kembali,
Tangan yang dulu halus, kini berubah oleh sengatan matahari.
Aku masih merepotkanmu, seperti dahulu.
Dulu, tangis itu lahir saat sakit,
Tanpa suapan hangat atau buaian manjamu.
Kini, tangis mengalir,Ketika kabar penyakitmu mencapai telingaku,
Sementara aku tak bisa berbuat banyak, selain berdoa di kejauhan.
Dulu, tangis karena telat kiriman,
Uang sepeser pun tak mampu untuk jajan.
Kini, tangis terulang,
Mengingat seberapa sedikit yang bisa kutanggungkan.
Dulu, tangis karena lauk dan sayur tak selezat yang diharapkan,
Kini, tangis hadir lagi,
Saat kau menyambutku dengan makanan kesukaan,
Walaupun dalam keterbatasan yang sama.
Tiga pesantren yang mengajarkan kedewasaan.
Mengapa dan untuk siapa air mata ini jatuh?
Aku yang dahulu merengek uang jajan padamu,
Kini hati ini sesak, belum juga bisa membahagiakanmu.
Sabar sebentar, Bu,
Semoga suatu hari nanti,
Maafkan aku yang belum mampu membahagiakanmu.
Firda Usmaningsih (CSSMoRA Universitas Wahid Hasyim 2023)