CSSMoRA – Pada suatu desa di tengah pulau Sumatera, ada sebuah pohon yang hidup di dalam rawa. Akar-akarnya berasal dari dasar rawa. Sedang ranting dan dedaunannya menguak ke permukaan.
Konon katanya, dulu tidak ada pohon di sana. Airnya jernih dan ikan-ikan berenang selayak akuarium raksasa. Dasarnya itu bisa terlihat jelas dari permukaan. Dulu tempat itu masih danau. Namun sejak pohon itu tumbuh, airnya mulai kotor dan berubah warna menjadi hijau tua. Ikan-ikan tak pernah tampak lagi.
Ada banyak desas-desus warga setempat mengenai pohon tersebut. Seorang tetua kampung pernah bercerita bahwa pohon itu muncul sepuluh tahun yang lalu, saat seorang tua renta tenggelam dan mayatnya tidak pernah ditemukan. Dan sejak itu pula setiap warga dilarang menyentuh air rawa.
Puteh sendiri pernah satu dua kali mengunjungi rawa itu. Kadang bersama teman, atau kadang sendirian. Dan setiap kali kunjungannya ke rawa itu, ada hasrat untuk pergi berenang ke tengah rawa dan menyentuh ranting pohon itu. Meski demikian, Puteh selalu berhasil mengendalikan diri. Yang terjadi kemudian, pasti ada saja kemalangan yang mendatanginya begitu pulang dari rawa. Terakhir kali, kulit tebal kakinya tertusuk duri. Dan durinya cukup panjang. “Kau hati-hatilah, Nak. Dia sudah memilih tumbal.” Kata-kata Pak Daud terngiang-ngiang di kepala Puteh. Pak Daud memang sudah beberapa kali mengingatkan bahwa rawa di desa mereka itu suatu saat akan meminta tumbal. Puteh tak acuh pada wejangan itu. Ia malah semakin penasaran apa yang sebenarnya yang ada di dasar rawa itu. Mengapa bisa tumbuh pohon di tengah-tengah rawa. Dan bagaimana sebenarnya kisah di balik pohon itu.
“Namanya Ismail, Nak. Ia adalah tetua desa sama sepertiku. Seorang yang wujudnya dihargai oleh warga dan suaranya didengar oleh kepala desa. Tapi dia keras kepala, Nak, sama sepertimu. Saat tetua lainnya tidak setuju terhadap suatu hal, ia tetap bersikeras melawan arus pendapat dengan dalih kemaslahatan warga. Aih, dia tak terlalu bagus dalam hal perilaku.” Begitu Pak Daud memberi jawaban saat Puteh bertanya siapa yang tenggelam 10 tahun silam di rawa.
Langit sudah menjelang gelap saat percakapan itu terjadi. Dan Puteh harus segera pulang. Ia singgah di rumah Pak Daud karena saat sadar kakinya tertusuk duri, pak Daud kebetulan berpapasan jalan dengannya. Pak Daud pun membawa Puteh ke rumahnya untuk diobati.
“Terima kasih banyak, Pak, sudah menolong saya. Izin saya pamit. Hari sudah menjelang malam.” Pak Daud hanya mengangguk. Puteh turun dari rumah pak Daud yang panggung. Di bawah rumah ada dua ekor ayam dalam kurungan yang terpisah. Satunya terlihat sehat dan satunya lagi sudah babak belur. Bulu-bulunya terlihat seperti dicabik-cabik. Kalau saja ayam itu tidak berkedip, Puteh bisa saja mengira ia sudah mati. Puteh langsung bergegas pulang setelah sekali lagi melihat ke belakang. Tidak banyak lagi warga desa yang menempati rumah panggung. Hanya tetua desa dan beberapa orang tua yang masih meninggali. Puteh sendiri juga tinggal di rumah panggung. Ia tinggal sendirian sejak ibunya meninggal dunia beberapa tahun silam. Ia mempercepat langkah menelusuri jalan setapak yang membelah kebun-kebun warga. Sebelum malam, ia harus sudah sampai rumah. Karena di samping ia tidak membawa lentera sebagai penerang jalan, ia juga belum memasak untuk makan malam. Puteh sampai juga di rumah setelah melewati jalan setapak yang mulai “menyeramkan” saat-saat matahari meredup. “Menyeramkan” karena sumber cahaya yang minim serta ditutupi dedaunan dan ranting pohon durian di sepanjang jalan. Itu membuatnya beberapa kali menyangka kalau ada orang tiba-tiba berdiri lima kaki di belakang, di samping, dan sekali waktu tepat di depannya. Sedetik kemudian barulah Puteh sadar bahwa itu hanyalah batu atau kayu.
Di sepanjang perjalanan, Puteh mendengar suara-suara hutan. Suara-suara seperti jangkrik bersahutan, tapi bukan jangkrik. Suara-suara seperti burung hantu, tapi bukan burung hantu. Suara hutan adanya. Dan suara itu hampir-hampir seperti memanggil namanya. Puu…teh… Meski tak acuh pada hal-hal menyeramkan itu, bulu kuduk Puteh berdiri juga.
Puteh sampai di rumah tepat saat matahari sempurna tenggelam. Segera ia memasuki rumah, menggelar alas pada lantai, lalu duduk bersila selama beberapa detik. Puteh sedang sembahyang. Ia tidak punya keluarga atau binatang peliharaan. Membuat rumahnya terlalu sepi saat malam hari. Dalam sembahyangnya, Puteh bisa mendengarkan setiap detail suara di sekitar rumahnya. Suara gesekan daun-daun pisang ditiup angin. Suara sahut-sahutan binatang malam. Dan suara napas seseorang yang sengaja dihela panjang. Puteh segera menyambar parang dan senter. Berlari ke jendela, membuka jendela, mencari-cari keberadaan seseorang. Apakah pencuri?Tangannya menggenggam parang dengan kuat. Untuk kesekian kalinya, Puteh melihat kiri-kanan dari jendela. Matanya awas. Jantungnya berdegup was-was. Tapi nihil. Di halaman rumahnya hanya ada pohon pisang yang daunnya bergoyang karena tiupan angin malam.
Puteh menghela napas panjang. Ia melihat ke langit. Mendapati bulan sempurna bulat. Malam ini purnama. Puteh menutup jendela rapat-rapat lalu menuju dapur, merebus telur ayam, dan makan nasi tadi siang. Tidak ada sayur atau kuah. Ia hanya menambah garam.
Sekali waktu saat-saat sendiri, Puteh merenungi hidupnya. Ia tipikal orang yang banyak berandai. Andai saja ibunya masih ada. Andai saja hartanya melimpah ruah. Andai saja ia punya banyak menu makan malam. Dan andaian mustahil lainnya. Tapi di sela-sela andaiannya, Puteh masih belum tahu pasti alasan ayahnya pergi meninggalkannya dan ibu. Puteh tidak tahu pula ke mana hendak ia tuju. Ibu bahkan sampai menangis meraung saat ayah pergi. Tapi ayah hanya memberi penjelasan singkat pada ibu, “ini takdir nasabku!” Tarmizi, ayah Puteh, adalah seorang warga sipil yang sangat biasa. Bekerja sebagai petani biasa, melakukan ritual peribadatan biasa, meminum kopi seperti orang-orang biasa, dan juga tidur pada malam hari. Tidak ada yang istimewa. Sungguh sekalipun tidak. Tapi entah kenapa Puteh punya anggapan bahwa orang-orang kampung berperilaku sedikit aneh terhadap ayahnya, Tarmizi. Maksudnya, orang-orang segan padanya. Atau lebih tepatnya takut? Padahal Tarmizi tidak punya kesaktian apapun. Ia tidak punya rantai babi. Juga tidak mengikat kontrak dengan harimau putih di gunung Sumatera. Belajar bela diri pun tidak. Bahkan secara postur tubuh, Tarmizi juga tidak terlalu tinggi dan berotot. Ah entahlah, Puteh juga tidak terlalu memikirkan ayahnya itu. Baginya, itu semua hanyalah misteri yang tak mungkin ia pecahkan lagi. Toh ayahnya juga sudah pergi ke antah-berantah dan tidak lagi kembali. Tidak ada tempat bertanya. Tapi kalau soal pohon dalam rawa, meskipun juga misteri bagi Puteh, Tapi Puteh yakin bahwa misteri ini masih mungkin diketahui asal usulnya. Karena pohonnya masih ada.
Malam semakin beranjak lebih gelap. Dan Puteh akhirnya, setelah semua angan, andaian, hipotesis, dan asumsi ia pikirkan, ia terlelap juga.
Puteh semakin lelap saat malam semakin tua. Dalam tidurnya, ia menarik napas sebanyak-banyaknya. Lalu menghela juga sebesar-besarnya. Membuat angin-angin yang dihirup bertabrakan tak keruan dalam paru-paru Puteh yang tak luas dan berhamburan keluar melalui lubang hidungnya yang juga sempit. Menimbulkan suara yang sangat berisik. Puteh berdengkur, tanda tidurnya pulas.
Puteh tidur nyenyak tapi tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja ia tak bisa bergerak. Seperti ada sesuatu yang besar sedang menindihnya. Puteh berusaha membuka mata. Betapa terkejutnya ia dengan apa yang dilihatnya.
Puteh melihat Ayahnya, Tarmizi, sedang menindihnya dengan muka dipenuhi lumut dan sekujur tubuh yang basah. Baunya menyengat. Bau amis. Bau lumpur. Bau rawa. “Berulang kali aku memanggilmu, Kau tak datang.” Ayahnya berteriak cukup keras di telinga Puteh. “Ku panggil kau di rawa, di hutan, bahkan sampai rumah, tak sekali pun kau gubris.” Puteh berkeringat deras. Berusaha menjawab tapi mulutnya kaku. Tak bisa bergerak sama sekali. “Sekarang juga, Nak. Bangunlah. Temui aku di dasar rawa.” Puteh masih berusaha bergerak. Sekuat tenaga ia kerahkan. “Bangkitlah Nak. Aku menunggumu. Ini takdir nasabku. Takdir nasabmu juga. Takdir nasab kita!” Puteh terjaga dengan sekejap. Bajunya sudah basah kuyup. Seperti baru saja mandi hujan. Malam sudah tua renta. Sebentar lagi subuh menjelang. Puteh tidak mengerti apa yang ia alami tadi. Sebuah mimpi, tapi begitu nyata. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya sakit. Tindihan itu benar adanya. Tapi ia tidak yakin apa yang ia lihat. Puteh lantas berdiri segera. Lalu berlari ke luar rumah menuju ke suatu tempat. Puteh sangat yakin hanya di tempat itu ia akan menemukan jawaban apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apa maksud dari semua ini. Penglihatan-pengelihatan. Pendengaran-pendengaran. Dan sebuah firasat.
Puteh berlari. Puteh berlari di tengah purnama yang bersinar terang. Melalui jalan setapak tanpa alas kaki. Melewati kebun-kebun warga yang pada malam hari sudah seperti hutan belantara. Menepis ketakutan. Menembus gulita tengah malam. Puteh terus berlari. Menuju satu arah. Satu tujuan. Dan Puteh akhirnya tepat berada di depan rawa. Puteh tidak membawa apa-apa melainkan sebilah parang yang sudah diasah tajam.
*****
Di depan halaman rumah, pada suatu malam satu tahun sebelum ibu Puteh meninggal, adalah saat kepergian Tarmizi. Ia hanya bilang ke Meurah, Ibu Puteh, tentang tujuannya. Puteh tidak tahu menahu percakapan malam itu. “Aku harus menumbalkan diriku. Kalau tidak, Ayahku tidak akan pernah tenang. Dan rawa itu akan selamanya busuk selayak menjadi papa bagi desa kita ini.” Tarmizi memberi pengertian.”Tapi bagaimana denganku? Bagaimana Puteh? Kau ingin Puteh jadi yatim?” Air mata Meurah sudah tumpah.
“Tolong maafkan aku, Meurah, andai aku punya pilihan.” Meurah hanya bisa menangisi.
“Apakah Daud yang memaksamu melakukan ini?”
“Tidak, Jangan salah paham, Meurah, Daud hanya memberitakan solusi, bahwa hanya aku yang bisa menebang pohon itu. Kalau tidak, Ayahku tidak akan pernah tenang.” Itu adalah perdebatan yang cukup panjang. Puteh berdiri di pintu rumah. Menyaksikan kepergian ayahnya. Tarmizi hanya menatap iba mata Puteh. Lalu berbalik dan berlari. Tarmizi berlari sekencang-kencangnya demi memantapkan pilihannya. Pohon itu adalah papa. Pohon itu adalah sengsara. Pohon itu membawa petaka. Pohon itu harus ditebang. Pohon yang diyakini warga sebagai jelma dari ayahnya, Ismail. Sehari sebelumnya, Pak Daud bersama dengan beberapa tetua desa memberitahu kenyataan pahit itu pada Tarmizi. Dan Tarmizi sudah membuat keputusan. Tarmizi berlari. Tarmizi berlari di tengah purnama yang bersinar terang. Melalui jalan setapak tanpa alas kaki. Melewati kebun-kebun warga yang pada malam hari sudah seperti hutan belantara. Menepis ketakutan-ketakutan. Menembus gulita tengah malam. Tarmizi terus berlari. Menuju satu arah. Satu tujuan. Dan akhirnya, ia tepat berada di depan rawa. Tarmizi tidak membawa apa-apa melainkan sebilah parang yang sudah diasah tajam. Ia membuka pakaiannya. Hanya tinggal celana pendek lalu langsung melangkah. Kakinya menyentuh rawa. Airnya sangat dingin. Tarmizi tidak peduli. Ia terus melangkah. Hingga kakinya tidak lagi sampai. Ia berenang dengan sebelah tangan. Sebelahnya lagi digenggamnya parang dengan amat sangat erat. Tarmizi terus berenang mendekati pohon. Dan seakan-akan pohon itu pun seperti mendekatinya.
Saat ia sampai pada pohon, tangannya langsung berpegangan pada ranting-ranting. Lalu dengan sigap, kedua kakinya mencekram pada batang di bawah air sebagai tumpuan. Dan parang pun ia layangkan tepat pada batang di atas permukaan rawa. Tarmizi mulai menebang pohon.Tebasan pertama dilayangkan Tarmizi membuat batang pohon itu mengeluarkan getah. Tidak. Itu bukan getah. Tapi merah. Merah darah. Tarmizi kembali menebang pohon. Cairan merah itu keluar lebih banyak.Tarmizi terus menebang hingga batang pohon itu sudah setengah putus. Tarmizi kehabisan tenaga, tapi ia tidak berhenti menebang. Hingga saat tebangan yang selanjutnya, saat parang tepat mengenai batang pohon yang hampir putus, sesuatu menarik kaki Tarmizi ke dasar rawa. Sejak malam itu, Tarmizi tak pernah ditemukan kembali dan warga desa tidak tahu ke mana ia pergi.
*****
Puteh mulai berenang ke tengah rawa. Ia ingat benar pesan ayahnya untuk menebang pohon itu. Parang di tangannya ia ikat pada tali di pinggang. Sedang ia berenang dengan rasa awas dan takut yang mendekam. Puteh sampai di pohon dan berpegangan erat pada rantingnya. Ia melihat batang pohon itu sudah hampir putus. Seperti ada seseorang yang sudah mencoba menebang. Dan di sana tertancap sebilah parang yang sudah karatan. Puteh semakin yakin bahwa yang ia lihat dalam mimpi tadi benar ayahnya. Puteh mengambil parang dari pinggang. Melayangkan tebasan. Dan mulai menebang. Merah darah keluar dari sayatan batang. Puteh melawan rasa ngilu dan takut. Ia melanjutkan menebang. Sekali. Dua kali. Lalu pada kali ketiga, sesuatu menarik kakinya. Puteh nyaris saja tenggelam. Tapi dengan parang yang sangat tajam di tangannya itu, Puteh berhasil selamat. Ia menebas segala ranting pohon yang melilit kakinya. Tak ayal ranting-ranting itu pun mengeluarkan darah semerah-merahnya. Puteh tak dapat melihat apa yang ada di bawah permukaan air. Rawa mulai berubah warna menjadi merah. Dengan segenap tenaga, Puteh memanjat lebih tinggi. Melewati permukaan air. Menjadikan cengkeraman kakinya sebagai tumpuan dan tangan kirinya sebagai pegangan. Lalu tangan kanannya kembali menebas. Hanya tinggal beberapa tebasan lagi. Pohon itu sudah hampir tumbang dan fajar subuh telah datang. Puteh kembali mengayunkan parang. Satu ayunan, dua ayunan, tiga ayunan. Pohon itu mulai condong ke barat. Empat ayunan, lima ayunan, enam ayunan. Batang sudah sempurna putus. Dan pada ayunan ke tujuh, pohon besar itu tumbang membelah rawa hingga ke daratan. Jatuhnya membuat dentuman yang teramat besar, membuat bumi bergetar dan menjadi gempa pada lima hingga sepuluh detik. Puteh sudah berenang mengambang di atas air saat pohon itu roboh. Ia berusaha, dengan sisa kekuatan yang ada, berenang menepi ke daratan. Puteh sampai di daratan dalam keadaan setengah sadar. Ia hanya telentang pada rerumputan persis di samping batang pohon tertebang. Dan sebelum para warga datang, ia sudah kehilangan kesadaran.
“Hari ini, aku sebagai perwakilan tetua desa menobatkan Puteh, sang yatim piatu penebang pohon, sebagai pahlawan desa.” Gelagar Pak Daud mendatangkan riuh tepuk tangan seluruh warga pada tepian rawa yang tidak lagi keruh. Puteh yang baru beberapa menit sadar di tengah kerumunan warga pun terheran-heran.
“Kau, Puteh, telah membebaskan desa kita ini dari hantu yang menggentayangi dan petaka yang menyelimuti. Mulai hari ini, desa kita akan sempurna lepas dari papa. Karena itu, sebagai bentuk terima kasih, segala kebutuhan hidup, biaya makan, serta tempat tinggal, akan seluruhnya ditanggung oleh semua warga desa. Dalam hal ini, semua warga diwajibkan dengan sepenuh hati memberikan pelayanan, harta benda, dan pemenuhan kebutuhan bagi Puteh. Apa yang ia minta wajib diberi. Apa yang ia butuhkan, wajib dipenuhi.” Kembali sorak-sorak ramai serta tepuk tangan memeriahi peristiwa pagi itu. Puteh hanya tersenyum bahagia atas hal itu. Ia mendengar suara-suara tepuk tangan. Ia merasa seperti sudah melakukan sesuatu yang berarti bagi desa. Ia, yang sebatang kara dan hidup miskin, bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dalam pada itu, Puteh jadi senang.
Namun di balik kesenangan Puteh itu, sungguh sebenarnya ada banyak hal yang tidak diketahui Puteh. Misalnya seperti: Puteh tidak tahu bahwa ia telah membunuh kakeknya, Ismail, dalam jelmaan pohon yang baru ditebangnya itu, dan Puteh tidak tahu bahwa Pak Daud adalah orang yang menenggelamkan Ismail, karena berencana membongkar korupsi yang dilakukan olehnya dan tetua desa lainnya. []
Penulis: Fadhil Mubarak Aisma (BSO Moragister Universitas Islam Malang)
Foto: Pinterest.