Dayah, Masa Depan Pendidikan Agama Islam

CSSMoRA – Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan Agama Islam adalah proses pengubahan perilaku seseorang menjadi lebih baik melalui pengajaran dan pelatihan yang berasaskan Islam sebagai prinsip dasarnya. Ada banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam, mulai dari sekolah, madrasah, hingga pesantren. Dari ketiga Lembaga tersebut, hemat kami, pesantren adalah lembaga paling baik dalam menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam secara komprehensif.

Di Aceh, pesantren lebih akrab disebut dengan “dayah”. Dalam buku Umat Bertanya Waled Menjawab, Abdul Hamid, Lc. M.Ag., menyebutkan bahwa kata dayah itu sebenarnya berasal dari aksara Arab, zawiyah yang berarti “pojok”. Sejak masa Rasulullah, pojok-pojok Masjid Madinah dijadikan sebagai tempat transfer ilmu dari seorang guru ke beberapa murid. Pengucapan kata zawiyah ini kemudian berubah menjadi dayah di lisan orang Aceh karena pemendekan kata dan juga dalam literatur bahasa Aceh tidak ditemukan bunya huruf “z”.

Di Aceh, sistem pembelajaran dayah pertama kali dikenalkan oleh Abuya Mudawaly Al-khalidy di Labuhan Haji. Dipercaya bahwa ilmu-ilmu ulama Aceh hari ini bermuara dari Abuya Mudawaly. Dari sana, lahir ulama-ulama pendiri dayah yang kemudian tersebar di seluruh penjuru Aceh. Hingga kini, dayah-dayah di Aceh setidaknya bisa diklasifikasi menjadi tiga. Pertama, dayah tradisional. Dayah ini masih mempertahankan konteks dayah sebagaimana semula seperti masih menggunakan sistem klasik dengan mengajarkan kitab turats. Dayah seperti ini masih banyak mengakar di tanah Aceh. Kedua, dayah tradisional semi modern. Maksudnya, dayah yang berdasar tradisional dengan mengkaji kitab turats, tapi juga memuat sekolah di dalamnya. Meski telah mengalami pembauran dengan sekolah, tidak mengurangi nilai dan budaya yang menjadi ciri khas dayah, seperti masih memakai sarung dan peci sebagai pakaian sehari-hari. Ketiga adalah dayah modern. Berbeda dengan dayah tradisional, dayah terpadu tidak mengajarkan turats. Dayah model ini lebih memprioritaskan penguasaan bahasa asing, selebihnya adalah menghafal Al-Qur’an.

Dayah atau pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dayah memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sekolah atau madrasah. Keunggulan tersebut membuat eksistensi dayah sebagai masa depan Pendidikan Agama Islam menjadi keniscayaan. Dari sekian banyak, hemat kami setidaknya ada tiga keunggulan yang paling menonjol dimiliki oleh pendidikan dayah, jika dibanding dengan sistem pendidikan lain. Pertama, power of jamaah. Ada banyak alasan untuk menunjuk salat jamaah sebagai poin pertama dan utama. Kalau mau disebutkan semua alasan itu, ratusan kata tentu saja tidak cukup untuk memuatnya. Tapi di antara alasan paling besar adalah karena jamaah adalah jantung dayah. Tidak ada satu pun dayah berprestasi dan terkenal kecuali di dalamnya telah tertancap pilar jamaah. Jamaah mengandung filosofi persatuan yang kuat. Saat salat jamaah, imam adalah pemimpin, sedangkan makmum adalah pengikut. Makmum wajib mengikuti dan mematuhi imam selama imam berada di jalan yang benar. Saat imam melakukan kesalahan, ada yang dimaafkan dan ada juga yang tidak bisa dimaafkan. Jika imam melakukan kesalahan fatal semisal yang membatalkan salat, makmum boleh bahkan –di beberapa kondisi– wajib memisah diri (mufaraqah) dengan imam. Filosofinya sangat kuat. Bahwa rakyat wajib mengikuti pemimpin selama memerintah dengan benar. Tapi jika pemimpin melakukan kesalahan, jika berupa kesalahan kecil, ia akan mendapat teguran dari rakyat. Namun jika kesalahan yang dilakukan amat fatal, maka rakyat berhak menuntut. Filosofi ini dipegang teguh oleh masyarakat dayah. Santri dayah sangat menghargai guru. Titah guru dianggap sangat signifikan bagi kehidupan masa depan santri. Karena itu, tak ada yang berani menentang guru jika perintahnya berisi kebaikan. Hal ini juga merupakan cikal bakal lahirnya pribadi-pribadi santri yang patuh, loyal, dan tidak suka membantah.

Keunggulan kedua adalah no smartphone. Jika ditanya apakah ponsel pintar itu baik atau buruk, jawabannya bukanlah iya atau tidak. Ponsel pintar itu sama seperti pisau. Bukan perihal baik atau buruk, tapi bagaimana si pengguna memanfaatkannya. Pisau tentunya sangat bermanfaat untuk memotong sayuran, daging, buah-buahan, dan lain-lain. Tapi bisa juga menjadi sangat berbahaya jika digunakan untuk membunuh. Ponsel pintar juga demikian: bisa baik atau buruk.

Dalam aplikasinya, sistem dayah melarang penggunaan berbagai alat elektronik semisal ponsel pintar. Ini bukan tanpa alasan, tapi berasas pada sebuah prinsip terkenal di kalangan dayah, bahwa mencegah kerugian lebih baik dari meraup kebaikan. Prinsip ini juga sesuai dengan prinsip ihtiyat: mengambil langkah lebih hati-hati. Terlepas dari itu, tanpa ponsel pintar, santri dayah bisa lebih fokus belajar tanpa terlena dengan media sosial yang begitu marak dewasa ini.

Alasan ketiga adalah 24 hours in control. Pendidikan formal nonasrama rata-rata memulai pelajaran pada pukul tujuh pagi dan mengakhirinya pada pukul satu hingga dua siang. Tujuh jam sehari. Setelahnya, sekolah tidak bertanggung jawab. Tapi kalau sistemnya boarding school, kontrolnya sampai 24 jam sehari. Sepenuh hari. Coba bayangkan apa yang lebih ketat dari itu? Semua kegiatan dibungkus dalam peraturan. Mulai dari salat lima waktu, mengaji kitab turats, mandi, makan, membaca Al-Qur’an, berzikir, sekolah, hingga pada waktu tidur. Semuanya, tanpa terkecuali. Santri diatur kegiatannya sedemikian rupa dengan bel atau alarm. Ini membuat santri dayah tiga kali lebih disiplin dari pelajar sekolah biasa. Tentunya itu akan membentuk karakter santri dayah menjadi lebih berarti.

Apa yang telah diuraikan di atas adalah sedikit dari keunggulan paling menonjol dari sistem dayah. Tentu saja masih banyak alasan mengapa dayah adalah pilihan terbaik untuk melanjutkan pendidikan di tengah kemerosotan akhlak generasi dewasa ini. Dayah adalah harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi berguna bagi agama dan bangsa. Jadi, tidak usah ragu. ayo belajar di dayah, masa depan pendidikan agama Islam!


Kontributor : Fadhil Mubarak Aisma (BSO Moragister Universitas Islam Malang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *