Hari Ketahanan Pangan sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober memberikan refleksi yang begitu besar bagi kita semua. Tema yang diambil adalah ‘Leave No One Behind’ yang berarti ‘Tidak Meninggalkan Siapa pun di Belakang’. Bentuk pelaksanaan dari tema tersebut adalah produksi pangan yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik. Ini mengajak kita semua untuk menjadi bagian dari solidaritas internasional, bersikap peduli dan meninggalkan egoisme masing-masing pihak dalam bidang pangan.
Bencana kelaparan yang terjadi di belahan dunia menjadi persoalan pangan yang mendesak untuk dibenahi. Kondisi bahwa banyak orang belum tersentuh keuntungan pembangunan berbagai sektor hidup manusia serta ragam inovasi teknologi, menjadi pendorong diambilnya tema tadi. Sebab tak sedikit saudara kita yang tertinggal, belum terengkuh di tengah hingar bingar kemajuan. Terlebih bagi negara berkembang dan negara dunia ketiga. Dengan tema di atas, solidaritas antar negara meman diperlukan. Bagaimana negara-negara besar dan maju mau berbagi dan peduli dengan negara-negara berkembang. Namun tentu saja dengan tidak mengabaikan kondisi dalam negeri masing-masing.
Negara-negara dengan jumlah penduduk besar adalah negara yang paling rentan. Baik dalam hal ketersediaan pangan maupun ketahanan pangan. Indonesia masuk dalam daftar tiga besar negara dengan limbah makanan terbesar di dunia serta menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Selain Indonesia, Arab Saudi dan Amerika Serikat juga menjadi negara di dunia dengan limbah makanan terbesar. Banyak makanan yang terbuang sia-sia dan berakhir menjadi sampah. Hal ini tentu akan menambah beban kerusakan lingkungan yang harus diselesaikan demi menuju sub-tema ‘better environment, better life’. Total sampah makanan di Indonesia mencapai 20,93 juta ton tiap tahunnya. Sampah tersebut berasal dari berbagai tempat, terutama di kota-kota besar. Apalagi dalam momen-momen tertentu, sampah makanan akan meningkat diikuti sampah yang lain, seperti momen tahunan perayaan hari raya, peringatan tahun baru, dan momen lainnya. Belum lagi peringatan lainnya yang berasal dari masyarakat, seperti acara ulang tahun, pesta pernikahan, hajatan dan lain sebagainya. Kondisi tersebut akan menjadi penyumbang sampah makanan yang tak terbedung. Dalam data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dikutip oleh suara.com (11/10/2022), pada rentang tahun 2000-2019 food loss and waste di Indonesia telah mencapai 23-48 juta ton per tahun. Angka tersebut setara dengan 115-284 kilogram per kapita per tahunnya. Data ini memperlihatkan bagaimana praktik memubazirkan makanan sedemikian tinggi dan membudaya di masyarakat kita.
Ironinya, puluhan juta saudara kita di bagian Indonesia yang lain masih mengalami kelaparan serta kerawanan pangan. Jangankan yang berada di wilayah luar pulau Jawa, beberapa daerah di pulau Jawa yang notabene menjadi pusat perekonomian Indonesia masih terjadi kerawanan pangan dan penduduk yang tak bisa mencukupi kebutuhan pangan mereka. Melansir dari harian Kompas (17/10/2022), temuan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2021 ada sekitar 17 juta jiwa atau 6,1 persen penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Dan sebesar 8,49 persen atau kira-kira 23,5 juta penduduk kita mengalami kerawanan pangan. Lebih mirisnya, pada 2021 menurut Global Hunger Index (GHI), Indonesia adalah negara ketiga dengan tingkat kelaparan tertinggi, posisi kita berada setelah Timor Leste dan Laos. Andaikata perilaku konsumsi makanan lebih tertata hingga tak ada makanan yang terbuang sia-sia, maka puluhan juta saudara kita bisa terselamatkan dari bencana kelaparan.
Berangkat dari fakta di atas, kita bisa mengawali kontribusi dari skala terkecil melalui perbaikan budaya makan. Rasulullah mengajarkan bagaimana etika konsumsi yang bertanggung jawab dan menyehatkan. Beliau jelas melarang kita berlebih-lebihan dalam konsumsi. Makan minum secukupnya dan proporsional, di mana dalam formula Nabi, makanan dan minuman masing-masing mendapat jatah ⅓ dari perut, sementara ⅓ terakhir adalah untuk udara. Praktik ini akan menjauhkan kita dari perilaku memubazirkan makanan yang biasanya terjadi karena tak menakar porsi makan dengan seksama, hingga bersisa dan terbuang begitu saja. Ambil makanan secukupnya dan habiskan apa yang telah diambil. Allah menegaskan, “…makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf: 31).
Kontribusi lanjutan untuk mengatasi tragedi dan ancaman kelaparan dapat dilakukan dengan budaya berbagi. Jutaan orang akan sangat mungkin terhindar dari kelaparan ketika banyak orang semarak untuk membantu sesama. Lakukan apa pun yang paling mungkin dan sanggup kita usahakan untuk menolong orang lain. Bukan main-main, orang yang tak peduli dan membiarkan tetangganya kelaparan dianggap sebagai orang yang tak beriman. Seperti yang diterangkan dalam hadis bahwa, Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya (HR. Al-Thabrani).
Hadis di atas adalah peringatan keras agar manusia peduli pada sesamanya. Pengakuan keimanan orang yang abai pada nasib saudaranya tak dianggap dan tak dipercaya. Suatu keimanan yang kosong dan tawar. Setiap orang harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dikonsumsi. Data-data tadi adalah ironi dahsyat, di satu sisi jutaan orang sedemikian sulit hanya untuk makan sesuap nasi, bahkan meregang nyawa karena kelaparan. Namun di sisi lain, jutaan kilo makanan berakhir sia-sia di tempat sampah karena kerakusan atau perilaku konsumsi yang jahat.
Pesantren bisa mengambil bagian dalam rangka menyikapi kejadian di atas. Pesantren juga menjadi salah satu penyumbang limbah makanan yang besar di Indonesia. Ketika KBM berlangsung, bisa dipastikan per harinya pesantren akan menghasilkan sampah dan limbah. Jika tidak dikelola dengan baik maka bisa berdampak negatif bagi pesantren dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar pesantren. Pesantren dengan jumlah santri antara lima ratus hingga seribu santri pasti menghasilkan limbah makanan yang besar, apalagi pesantren dengan jumlah santri lebih dari seribu orang.
Salah satu pesantren yang mengelola limbah makanannya adalah pesantren Al Fath Sukabumi. Dikutip dari detik.com (18/11/2022) para santri diberdayakan untuk menciptakan kemandirian pangan dengan cara membuat lahan pertanian yang terintegrasi dengan dapur. Program tersebut bertajuk Integrated Farm Education and Entrepreneurship (IFE2), Di mana santri belajar untuk memanfaatkan limbah makanan dan organik agar tak terbuang sia-sia. Tentu program ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah limbah makanan di pesantren, namun merupakan Langkah awal untuk menciptakan ketahanan pangan di lingkungan pesantren.
Kontributor: Muhammad Nurulloh (Santri dan BSO Moragister 2022 UIN Sunan Kalijaga)