Seminggu ini, kegabutanku diisi dengan memperhatikan sekeliling. Ini bukan bercerita tentang orang-orang yang maraknya pada bucin. Saling bertukar cie… dengan kerabat dekat. Bukan sobat! Coba kita alihkan menuju sorot pandang bola mata. Ketika kamu bertemu dengan orang baru, kamu akan melihat jelas perawakan wajah, kulit maupun bentuk badan seseorang, kan? Yap, tentu saja. Karena kita memiliki anugerah yang luar biasa, yaitu penglihatan. Dari mata, kita menilai awal segala sesuatu dengan saksama. mulai matanya, hidung, bahkan memandang tajam apa dia mulus atau berkulit kusam. Jika ada yang merasa dirinya tak memperdulikan hal itu, maka saya menyimpulkan sebagian besar orang di muka bumi ini melakukan hal yang serupa. Sangat sulit dinafikan, pandangan kita dipengaruh besar dari lingkungan yang mendominasi. Begitu juga, dengan penilaian kita terhadap ras, suku, kulit dan macam-macam pengelompokkan. Dan yang menarik, pastinya dari kecantikan seseorang. Kecantikan mesti dilekatkan pada pigmen kulit.
Terpampang nyata baik di kehidupan real, media sosial, atau pun budaya yang ada bahwa yang menimbulkan orang disebut cantik, itulah yang berkulit putih. Entah itu pengaruh bercampurnya kultur barat maupun orang Asia yang berkulit putih (China, Jepang, Korea, dsb).
Indonesia sekarang ini, viral dengan produk-produk kecantikan yang menawarkan bening, cerah, dan putih pada kulit. Hal itu menyebabkan orang-orang yang berkulit gelap/hitam tidak mendapatkan sorotan maupun eksistensi dalam bersosial. Bahkan secara tidak sadar, mereka dituntut untuk berjuang melawan pigmen kulit mereka sendiri. Popularitas yang ditawarkan produk pemutih, membuat khalayak ramai seakan terdoktrin untuk melupakan hakikat diri mereka sendiri yang merupakan sumber kekuatan dari Tuhan yang menciptakan. Kesibukan orang bersaing mempercantik diri dalam konstruksi sosial, menyurutkan keindahan natural yang sudah diabaikan.
L. Ayu Saraswati dalam bukunya Putih Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional menyebutkan … sebagian teoretikus menyatakan bahwa penduduk asli: Indonesia, mungkin sekitar 30-40 ribu tahun yang lalu, adalah orang-orang berkulit gelap (Vlekke 1960,8; Mirpuri 1990,19). Pencerahan tersebut, menjadi alarm untuk kita bahwa rasa minder yang sudah tenggelam dalam sosial kita sekarang, tidak usah berlarut untuk dihayati. Tidakkah kita akan merasa lebih baik, jika menjadi diri kita yang apa adanya? Tanpa memperhatikan hal-hal yang berlebihan dimana hanya sebagai pemuas hasrat untuk ingin diakui. Sungguh melelahkan!.
Merawat diri bukanlah suatu permasalahan besar, tapi jika ditambahkan dengan bumbu-bumbu persaingan, hal itu semata hanya merusak kepribadian. Yang lebih memprihatikan di zaman serba digital ini, sudah ada efek filter memutihkan kulit berdampak pada tekanan merawat diri berkedok persaingan siapa si paling cantik. Jika buruk rupa kita sudah banyak solusi dari bermacam-macam produk. Marilah menekankan untuk berpusat pada inner beauty yang mampu menyihir lebih dahsyat dari perawatan yg kasat mata. Mudah dan tak banyak biaya, cukup awali dengan membaca tulisan-tulisan beraura positif, jauh dari ujaran kebencian, dsb. Setelah itu, mungkin kita bisa iseng-iseng nongkrong di perpustakaan membaca satu atau dua halaman yang ringan dimengerti. Ataupun, memulai menuliskan isi kepala yang berisik, dengan buku diary yang menunggu untuk dituliskan pengalaman kita hari ini. Dan masih banyak lagi, gerakan-gerakan kecil yang sedikit demi sedikit membuka pesona kecantikan yang membuat seseorang akan terlihat memukau dengan penawaran kecantikan yg abadi.
Kontrubutor: Ismi Rezki Amaliah, Kominfo Nasional CSSMoRA.