Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dipercaya PBNU untuk mengadakan Halaqah Fikih Peradaban dengan tema Fikih Siyasah dan Negara Bangsa yang dilaksanakan Pada hari Sabtu, tanggal 17 september 2022. Acara ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dengan pemateri Dr. Ahmad Musta’in Syafi’i, M.Ag. dan KH. Faiz Syukron Makmun, Lc., MA. Dilanjut sesi kedua dengan pemateri Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA. dan Prof. Dr. KH. Masykuri Bakri, M.Si.
Halaqah Fikih Peradaban ini diselenggarakan dalam rangka memperingati menuju satu abad Nahdlatul Ulama (NU). Dalam sambutannya KH. Nur Hannan, Lc., M.HI. menyampaikan bahwa kegiatan ini diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai bagian dari rangkaian acara dalam rangka satu abad hari lahir NU. Halaqah Fikih Peradaban yang diselenggarakan di 250 pesantren di seluruh Indonesia ini memiliki dua tujuan. Pertama, dari halaqah ini diharapkan dapat menghidupkan kembali tradisi berhalaqah di era Gus Dur. Kedua, mendorong para ulama di lingkungan pesantren untuk mengeksplorasi lebih banyak kitab-kitab turats.
Dalam materinya, Gus Faiz menjelaskan tentang makna fikih peradaban yang sebenarnya.
“Fikih peradaban berarti ada Al-fiqh dan juga ada Al-hadhoroh, Al-fiqh secara bahasa berarti Al-fahmu yakni mencoba untuk memahami, sementara Al-hadhoroh adalah hasil segala upaya, budidaya manusia, kemampuan intelektual, kemampuan fungsi ubur manusia yang kemudian menghasilkan suatu yang disebut dengan peradaban, baik itu pada aspek yang bersifat fisik zahiriyah seperti jalanan, peradaban kita pada saat ini sudah cukup modern karena dari Jakarta untuk sampai ke Jombang itu hanya butuh waktu delapan jam dan ini menunjukan adanya peradaban baru, adanya hadhoroh kemudian timbul kemajuan karena orang sekarang ini tidak perlu melalui lamanya perjalanan tetapi orang butuhnya itu agar cepat sampai”.
“Kemuliaan yang ada pada agama kadang-kadang dia tidak lagi terlihat istimewa, tidak lagi terlihat luar biasa membawa kebaikan, karena kita yang tidak mau melakukan siyaghoh jadilah yang bentuknya nanti seiring dengan zaman. Kita merasa kitab kuning itu sederhana tapi jangan lupa, dengan kitab kuning masalah umat Islam itu meletakkan kaki yang satu di Andalusia, kaki yang satu memanjang sampai daratan Cina dengan wasilah bibarokatil kitab kuning. Kenapa mereka hebat? karena mereka memahami Fikih Peradaban”. Tutur pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman III ini.
Beliau juga menyinggung tentang hubbul wathon minal iman.
“Hubbul wathon minal iman itu memang bukan hadis tapi kalau mau mencari dalilnya satu kapal perangpun kita kasih, karena hubbul wathon ini dalam Islam benar-benar memiliki kedudukan yang luar biasa kemudian disederhanakan dengan bahasa hubbul wathon. Menurut saya, ini peradaban yang luar biasa, karena jika saya menjelaskannya dengan sejarah itu akan panjang untuk orang awam, jauh lebih mudah jika saya sampaikan hubbul wathon minal iman sebagai satu slogan, dia bukan hadis bukan juga al-Qur’an, tapi saya butuh kepada redaksi yang sederhana agar mudah difahami. Ini namanya peradaban”.
Kontributor: Megawati Agustina, anggota CSSMoRA Ma’had Aly Hasyim Asy’ari semester V