Membaca merupakan suatu aktivitas melihat serta memahami suatu tulisan dengan cara lisan maupun dalam hati.
Lalu mengapa banyak orang Indonesia malas untuk membaca?
Menurut UNESCO, minat baca warga Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% artinya dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Membaca di Indonesia sering kali diartikan sebagai aktivitas yang membosankan, dikarenakan membaca sering kali dianggap hal yang membuang waktu, padahal banyak warga Indonesia yang sering kali angkat suara ketika ada suatu masalah panas di media sosial atau malas membaca tapi cerewet di media sosial.
Meskipun minat membaca buku rendah, tapi data menunjukkan per Januari 2017 bahwa warga Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Jadi tidak bisa dipungkiri dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke-5 dunia. Top pokoknya.
Salah satu kota yang paling menyumbang cerewet di dunia maya adalah Jakarta, karena aktivitas dari akun Twitter yang berada di Jakarta ini terpadat melebihi New York dan Tokyo. Laporan ini berdasarkan lembaga independen di Paris.
Teknologi tidak lagi mengenal usia, mulai dari anak-anak sampai orang yang sudah beruban pun menggunakan teknologi. Mudahnya mendapatkan informasi membuat semua warga senang menggunakannya. Namun, hadirnya teknologi ini mulai mengurangi niat baca maupun budaya diskusi yang selalu digunakan oleh penikmat ilmu.
Banyak data yang menunjukkan bahwa warga negara Indonesia cerewet di media sosial, salah satu korban dari cerewetnya warga Indonesia adalah akun Instagram Microsoft terpaksa harus menutup kolom komentar pada tanggal 1/3/2021 karena diserang komentar panas dari warga Indonesia. Tidak hanya itu, salah satu kasus besarnya adalah akun dari salah satu e-sports terbesar di Thailand harus rela dibanned oleh Instagram dikarenakan warga pencinta e-sports Indonesia tidak terima kekalahan tim kesayangan mereka dikalahkan oleh salah satu tim e-sports yang ada di Thailand. Dan masih banyak lagi cerita pedas kelakuan warganet Indonesia yang cerewet di media sosial.
Miris sih miris, dikarenakan banyak warga Indonesia yang menulis komentar hanya dengan menebar kebencian atau hal-hal yang panas tanpa harus membaca dulu lalu membuat komentar, yang mengakibatkan penggambaran orang luar terhadap Indonesia adalah kurangnya kaum intelektual lagi yang ada.
Lalu bagaimana cara mengatasi ini? Pertanyaan ini banyak ditanyakan di semua kalangan, padahal cara mengatasi kurangnya kaum intelektual yang ada adalah perbanyak referensi ilmu, salah satunya dengan membiasakan membaca dari diri sendiri. Ada juga cara yang lebih efektif lagi, yaitu dengan membangun literasi media dan menjembatani polarisasi itu. Kominfo harus tegas untuk membuat pelabelan situs/artikel sebagai hoax dengan kriteria dan prosedur yang jelas. Selain itu kita juga harus melakukan kontra narasi yang kredibel terhadap hoax/opini yang menyesatkan.
Penulis: Agil Kurniawan