Pada hakikatnya sifat seseorang tidak sama persis dengan sifat orang lainnya. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan karakter dan psikis seseorang. Dalam memahami sebuah tindakan atau perilaku manusia, dibutuhkan sebuah teori dan juga pendekatan, dimana pendekatan tersebut harus dihubungkan dengan ilmu ketuhanan. Kemudian dapat dikatakan bahwa dalam memahami seseorang, kita bisa mengaitkan dengan teori psikolog barat. Terdapat berbagai macam ilmu psikologi yang bisa membantu untuk memecahkan masalah pada diri seseorang. Selain itu, dalam ayat al-Qur’an juga banyak membahas tentang psikolog, seperti, Asy-Syams (7-10), Yusuf (53), dan lain sebagainya. Dalam hal ini penulis mengambil sebuah rujukan ayat yaitu Q.S. Al- Ma’arij: 19. Kemudian, dikatikan juga dengan Tafsir Al-Mishbah dan dihubungkan dengan sebuah pemikiran dari Dr. Malik Babiker Badri (psikolog internasional yang berasal dari Sudan).
Dalam saat-saat sepi ketika manusia hanya berada dengan dirinya sendiri, apa yang akan dilakukannya kalau tidak merasakan gelisah? Ketika seseorang berada dalam kegelisahan maka secara tidak sadar ia telah mematikan kehidupan spiritualnya, dimana kehidupan spiritual itu digunakan untuk mengisi aktifitas kejiwaan dan penerangan dalam kehidupan, selain itu dapat juga diisi dengan pemikiran tentang keduniaan. Semisal, harta benda, cinta terhadap kekayaan, reputasi dan juga pengalaman yang hebat nan mempesona. Tulisan ini akan membahas tentang penafsiran sebuah ayat dalam perspektif psikologi.
Ketika kita melihat ayat dalam surat Al- Ma’arij: 19, di dalamnya terdapat kata (هلوعا) terambil dari kata (هلع) yang berarti cepat gelisah semacam rakus . Jika dikaitkan dalam ilmu psikolog, maka ini sudah menjadi hal yang lumrah karena pada dasarnya sifat manusia selalu ingin merasakan kesenangan. Dijelaskan, ayat ini dalam konteksnya diawali dengan kata (ان الانسان), ini berarti bahwa keseluruhan manusia tanpa mengenal individu yang satu dengan individu yang lain. Kata tersebut bisa diidentikkan dengan manusia yang sering lupa. Ketika kita mengaitkan antara kata (هلوعا) dengan (ان الانسان) disini, kita bisa melihat secara luas dari konteks ayatnya yang berkaitan dengan harta kekayaan, apalagi kekhawatiran manusia apabila kekayaannya itu berkurang. Kemudian ayat ini diperjelas dengan ayat selanjutnya yaitu (إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Jadi ada dua konteks sifat manusia pada umumnya. Gelisah, khawatir akan sesuatu baik itu kegelisahan masa lalu, saat ini, ataupun yang akan datang. Memang dalam diri manusia telah tertanam naluri untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa sesuatu itu merupakan keinginan yang meluap untuk meraih kebaikan dan manfaat baik berkaitan dengan dirinya maupun orang lain. Ketika keinginan ini disentuh oleh keburukan (hal yang tidak disukai) maka kegelisahan dinilai sebagai bagian dari cinta diri sendiri (egoisme) bukanlah sesuatu yang buruk. Dengan demikian keluh kesah ketika disentuh keburukan dan kikir ketika meraih kebaikan dan rezeki merupakan akibat dari penciptaannya menyandang sifat hala’ yakni gelisah dan berkeinginan meluap.
Pembahasan ini cukup menarik ketika dikatikan dengan fenomena-fenomena yang terjadi saat ini yang menimpah dunia yaitu coronavirus disease 2019 (COVID-19). Karena hal ini menyangkut tentang sebuah rasa gelisah dari setiap orang terhadap wabah pandemic ini. Apalagi maraknya berita hoax yang sering bermunculan di sosial media. Penulis memberikan pesan kepada seluruh media agar dalam memberikan informasi harus disertai bukti yang nyata. Ketika seorang individu akan menerima informasi itu secara terus menerus maka akan berdampak pada beberpa hal, seperti kecemasan berlebih bahkan bisa mengarah pada gejala abnormalitas perilaku yakni gangguan obsesif kompulsif.
Pada ayat yang dijelaskan diatas bahwa rasa gelisah disini bukan hanya tertuju pada kegelisahan dalam hal keinginan tetapi juga ada kegelisahan lain yang tertanam dari diri manusia. Ini akan berbicara pada kognisi, bagaimana indranya bisa mengelola informasi itu sehingga terjadilah pandangan perspektif pribadi dalam hal ini asumsi-asumsi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan inilah kegelisahan dalam bentuk kekhawatiran bahwa apa yang kita dapat itu akan berkurang atau akan hilang. Dalam pandangan agama Islam, kegelisahan itu dapat diolah. Allah menjelaskan dengan melalui salah satunya yaitu dengan ibadah sholat, tadarus, dan ibadah ritual lainnya. Maka dari itu, kegelisahan yang terjadi dalam diri manusia, dapat dilihat dari apa yang dia lakukan sebelum mengalami hal itu. Manusia diciptakan memang telah memiliki sebuah naluri kegelisahan seperti yang telah dijelaskan ayat di atas.
Zaim, UIN SUKA