KORONA DAN KOTAK IMAJINASI PASIEN XX

Aku sakit.
Kabar baiknya, aku ditemani Mama dan Papa ke rumah sakit.
Kabar buruknya, aku hanya boleh sendirian di kamar serba putih yang sesekali dikunjungi astronot pembawa suntikan.

Para astronot itu mengenakan pakaian putih yang mengeluarkan bunyi kresek kresek setiap kali mereka bergerak. Tidak ada akuarium bulat di kepala mereka. Meskipun berpakaian serba putih dengan sarung tangan, mereka hanya mengenakan helm yang kacanya datar. Di balik kaca helm itu mereka memakai kacamata renang dan masker. Astronot disini aneh sekali.

Astronot, Imajinasi Tasya (Sumber: Liputan6.com)

Aku sempat curiga kalau mereka menculikku ke suatu ruang yang terpisah dari bumi. Mungkin saat aku tertidur di ambulan, mereka membawaku ke sebuah kapal ulang alik. Nafasku sesak beberaa saat. Kepalaku berat sekali.

Saat aku membuka mata, aku sedang tiduran di ranjang. Ada astronot di kiri-kananku. Namun, di dekatku tidak ada Mama dan Papa.
Aku diculik sendirian. Aku tidak tahu Mama dan Papa ada dimana. Tapi aku yakin mereka selamat. Kata Papa, Mama adalah perempuan paling keras kepala. Sedangkan kata Mama, Papa adalah lelaki paling bajingan. Seingatku, keras kepala dan bajingan adalah modal selamat dari situasi bahaya.
Kata Mama dan Papa, aku adalah anak cerdas dan berani. Aku seorang putri gagah berani yang tidak takut pada monster di bawah kolong tempat tidur. Aku menyelamatkan Mama dari kecoa, dan aku juga menyelamatkan Papa dari omelan Mama.

Kepalaku sakit lagi. Aku melihat selang putih terhubung ke tubuhku. Para astronot itu pasti memberiku dosis obat supaya aku tak berontak. Pantas saja aku selalu lemas.
“Kalau Dek Tasya sudah sehat dan kuat, nanti adek boleh keluar dari sini” kata Astronot 1 padaku. Astronot 2 tetap tak bergeming dan sibuk dengan peralatan di tangannya. Masker mereka membuatku tak bisa menebak apakah mereka tengah tersenyum, cemberut, atau sedih.
Kalimat barusan terdengar seperti sebuah tantangan sekaligus ancaman di telingaku. Apalagi dia bisa tahu namaku tanpa pernah bertanya.
“Adek kuat loh, Pak Astronot” tantangku balik.
Astronot gendut itu malah tertawa. Dia bilang, dia mendoakanku supaya bisa cepat keluar dari sini.

Keesokan harinya, aku melihat Mama mengintip dari jendela. Mama berpakaian sama denganku. Bedanya, Mama tidak dijejali selang putih. Para astronot itu meremehkan Mama. Mereka hanya belum tahu kalau Mama pandai sekali adu mulut.
Aku ingin sekali berlari ke arah Mama. Aku ingin bilang supaya Mama tenang saja. Aku pasti akan menyelamatkan Mama dan Papa dari kurungan ini. Sayangnya, aku masih begitu lemas. Tubuhku panas dingin. Sendiku nyeri dan aku ingin dipeluk Mama.
Mama melambai sambil memperlihatkan senyuman lebar dengan mata berkaca-kaca. Mama menangis. Tapi Mama juga tersenyum. Aku bingung. Papa dimana? Kenapa Mama cuma sendiri?

Hari berikutnya Mama tidak muncul di jendela. Kemarin Mama kena marah seseorang yang hanya bisa kudengar suaranya. Mama melambai lagi dan menghilang dari jendela pintu.
Aku sedih sekali. Aku mencoba menahan tangis. Sialnya, kerongkonganku jadi ikutan sakit. Aku batuk berkali-kali. Saat aku tidak batuk, aku bersin. Saat aku tidak batuk dan tidak bersin, aku bisa mendengar tarikan nafasku sendiri.

Seorang astronot datang dan menyuruhku membuka mulut. Tentu saja aku tidak mau. Dia bilang, kalau aku ingin cepat sehat aku harus menurut.
Aku mempertimbangkan banyak hal. Barangkali astronot ini adalah teman manusia bumi. Dia mungkin ingin menolongku. Namun, saat aku memintanya melepas selang putih, astronot itu menolak.
“Aku juga ingin jadi astronot” kataku. Supaya bisa menyamar dan menyelinap ke luar.
“Kau bisa jadi astronot kalau kau keluar dari sini” jawabnya.
Tunggu, tunggu. Aku mau jadi astronot supaya aku bisa keluar dari sini. Buat apa aku jadi astronot setelah keluar dari sini?

Astronot itu memberiku sebuah buku gambar dan set krayon. Aku suka sekali menggambar. Mungkin Papa bicara pada atasan astronot itu dan memintanya memberikan ini padaku. Dulu Papa juga pernah bicara pada Pak Kepala Sekolah dan aku batal kena hukum. Papa keren!
“Nama kakak siapa?” tanyaku.
Astronot itu tampak senang saat mendengar pertanyaanku. Kakak itu bilang namanya Indri. Dia bakal mengunjungiku tiap hari dan memastikan aku sehat dan ceria.
“Tasya boleh gambar-gambar kalau bosan” jelas astronot tadi.
Aku mengangguk. Dalam kepala, aku sudah menyusun rencana-rencana pelarian diri yang akan ku gambar.

Seminggu sebelum penculikan, Bik Sum sempat cerita soal virus. Virus itu bikin sakit. Sudah banyak ada orang di luar negri yang sakit. Virus itu bisa kena dari satu orang ke orang lain. Virus itu juga sangat sangat sangat kecil sehingga kita tidak bisa melihat virus tanpa alat khusus. Bik Sum jadi bawel sekali menyuruhku cuci tangan pakai sabun. Cuci tangannya harus lama pula. Harus pakai enam gerakan. Aku malas, tapi aku lebih malas lagi kalau kena omelan Bik Sum. Jadi aku menurut saja. Selalu cuci tangan, nga pernah pegang-pegang mata, mulut, dan hidung. Aku juga makan lebih banyak sayur dan buah.
Waktu itu kebetulan Mama dan Papa sedang di luar negri. Aku yang terpengaruh Bik Sum jadi super khawatir. Tiap hari aku video call dengan Mama dan Papa. Mereka bilang untuk tidak khawatir. Mereka sehat dan lingkungan mereka bersih.

Sepulangnya Mama dan Papa, aku jadi was-was ingin salaman. Papa sempat marah karena dia bilang aku lebih percaya Bik Sum ketimbang Papa. Mama menengahi. Mama memeluk dan mencium dua pipiku. Mama bilang Mama kangen. Aku juga kangen. Aku minta gendong Papa dan Papa tersenyum kembali.
Dari jauh-jauh hari Papa sudah janji mau membawaku ke taman bermain. Tapi, di tv, ada berita dua orang warga Indonesia terjangkit korona. Korona itu nama virus yang dibilang Bik Sum.
“Kita jadi pergi tidak, Pa?” tanyaku.
“Jadi kok. Depok kan jauh dari sini. Ya gapapa.”
“Tapi kan virusnya aja sampai dari luar negri ke Indonesia. Masak dari Depok ga nyampai ke sini!”
“Adek kan masih kecil. Belum ngerti”
Iya, ya. Aku kan masih TK. Nanti kalau sudah SD baru mungkin aku bisa paham.

Kak Indri kali ini datang dengan Astronot 1. Astronot 1 itu tidak seramah Kak Indri jadi aku tidak mau menanyakan Namanya. Astronot 1 itu menyuruh-nyuruh Kak Indri dan memasukkan alat-alat aneh ke dalam hidung dan tenggorokanku. Aku masih menangis saat Astronot 1 pergi dan meninggalkanku dengan Kak Indri.

“Kau menggambar apa?”
Aku senang sekali saat Kak Indri menanyakan gambarku. Aku menarik buku gambar yang ada di nakas dan membuka halaman yang memperlihatkan gambar terbaikku.
Ada tiga astronot disitu. Mama, Papa, dan Aku. Kami bertiga memakai pakaian astronot dan menyelinap pergi. Astronot 1 sempat menanyakan identitas kami. Aku keringat dingin, sedangkan Mama memegang tanganku lebih erat. Untungnya Papa berhasil mengelabui Astronot 1.
Kami mengendap-ngendap dan ketahuan dua astronot yang membawa suntikan besar. Saat kami berlari, untunglah ada Kak Indri yang menyuruh kami masuk ke sebuah ruangan. Dua astronot bersenjata itu melewati Kak Indri tanpa curiga.
Papa mencuri sebuah kapal ulang alik kecil. Kami mengajak Kak Indri pergi. Tapi Kak Indri bilang dia masih harus menyelamatkan orang lain. Masih banyak manusia bumi lain yang terjebak di ruang pengurungan ini.
Kak Indri yang berdiri di depanku tertawa saat mendengar ceritaku. Tawa yang menyenangkan dan tidak mengejek.

“Kau benar, Tasy. Aku harus menyelamatkan orang lain saat kau behasil kabur dari sini”
“Apa masih banyak orang lain yang harus Kak Indri tolong?”
“Ya. Semoga tidak semakin banyak.”
“Kalau begitu, aku tidak akan pulang dulu. Aku mau bantu Kak Indri menyelamatkan orang-orang dari sini”
Kak Indri memberikan sebuah ponsel padaku. Ponsel yang pernah dibelikan Papa.
“Karena Tasya sudah lebih sehat dan rajin minum obat, Tasya boleh pakai hp ini” ujar Kak Indri.
“Tasya mau video call Mama” ujarku.
Kak Indri membantu membuka whatssapp dan mencari kontak Mama. Layar ponsel menampilkan wajahku dengan status berdering. Tak lama, wajah Mama muncul.
“Mama, Tasya kangen!”

Dua hari kemudian Kak Indri mengantarku ke luar. Setelah melewati lorong-lorong dan bertemu berbagai astronot lainnya, aku bisa melihat Mama dan Papa dengan mata berair dan masker yang menutupi hampir seluruh wajah mereka.
“Tasya, selamat ya sudah bisa pulang” ujar Kak Indri.
Aku berlari ke pelukan Mama. Aku diberi masker dengan motif hello kitty. Papa bilang kita akan pulang. Hanya dengan mobil yang biasa. Tidak dengan kapal ulang alik atau pun roket. Mama mengelus kepalaku.
“Petualangan berakhir. Ayo ucapkan terimakasih pada bu dokter” ujar Mama.
Aku membalikkan badan. Mengucapkan terimakasih pada dokter, perawat, dan rumah sakit. Petualanganku berakhir hari ini. Barangkali, petualangan lainnya akan menantiku di rumah.
“Jangan sampai diculik lagi kesini, ya!” lambai sang dokter. Aku balas melambai.
“Ma, Pa, sampai kapan sih rumah sakit akan terus menculik orang?”
Mama dan Papa tidak menjawab.
Tamat

Cerpen Matahari, Anggota CSSMoRA UPI Angkatan 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *