Ku dengar kau menulis. Aku senang dengan penulis, karena itu aku senang saat kau bilang kau akan meluangkan waktu mendengar cerita ku. Duduk lah disini. Aku tahu perempuan senang menatap mata lawan bicaranya. Cerita ku bakal panjang dan membosankan. Semoga setidaknya kau menemukan hiburan di kaca mata ku, rambut keritingku, atau bahkan tahi lalatku, supaya kau betah duduk disini sampai nanti usainya kisah ini.
Demi Tuhan! Aku tidak pernah menyukai seorang perempuan pun sampai aku bertemu dengannya. Kau mungkin tidak percaya, tapi ini sungguhan. Aku membaca banyak novel roman, menonton banyak film asmara, tapi aku tidak menemukan debaran itu di keseharian. Aku pikir buku dan film itu bohongan. Penulis senang melebih-lebihkan perkara, sebagaimana yang mungkin juga kau lakukan nanti pada ceritaku ini.
“Bagaimana awal kau bertemu dengannya?”
Hm, sepertinya kau bukan penulis yang sabaran. Ku sarankan setelah kau usai menuliskan kisah ku ini, kau pindah saja jadi jurnalis. Mengajukan pertanyaan dan memburu informasi. Kalau kau tidak senang, dengarkan lah ceritaku sampai usai. Setiap kata yang ku sampaikan memuat perasaanku. Bukankah itu alasan kau menulis?
Setelah aku lulus pondok pesantren, aku mendapat kesempatan melanjutkan studi pendidikan tinggi di Yogyakarta. Anak desa macam aku terkejut-kejut mendapati kota yang jauh lebih maju. Aku canggung. Aku takut. Pesan kiyai ku jadi salah satu yang membuatku bertahan. Pesan beliau, orang baik dibaiki pula oleh seluruh alam.
Aku mencoba menjadi orang baik pada semua orang. Tapi dengannya, aku jadi susah membedakan kebaikan dan pengorbanan. Jika seorang teman memintaku menunjukkan tugas, aku akan mengirimkannya link referensi. Namun jika dia yang memintaku menunjukkan tugas, aku akan mengajaknya bertemu dan belajar bersama sepadat apa pun jadwalku.
Rutinitas itu berlangsung hitungan tahun. Tanpa maju atau mundur selangkah pun. Aku dan dia hanya jadi teman diskusi. Hatiku memberontak. Aku tidak puas. Aku ingin ia menganggapku lebih dari itu.
Berbekal pengalamanku membuat kaligrafi semasa pondok pesantren, aku mengincar hari ulang tahunnya. Tahun sebelumnya aku pengecut. Aku cuma berani bilang selamat di chat. Itu pun keroyokan di grup kelas. Kalau aku ingin dia menganggapku berbeda, maka aku juga harus melakukan hal berbeda.
Kaligrafi itu ku buat di atas kaca tebal dengan bantuan alat ukir. Itu pertama kalinya aku membuat hadiah seserius itu. Dalam benakku, hadiah ini pasti lah akan jadi amat istimewa. Kaligrafi ukiran kaca. Aku pasti bakal jadi lelaki pertama yang memberinya hadiah seperti ini. Bukan coklat, buku, jam tangan, atau cincin.
Dia senang sekali menerima hadiahku itu. Hubungan kami jadi maju selangkah. Dari teman diskusi menjadi teman. Dia balas menghadiahiku di hari ulang tahunku. Sebuah kue coklat yang dia bilang dibuat sendiri. Aku bahagia-bahagia saja. Meski dua hari kemudian aku menemukan struk pembelian kue terselip di saku jaket yang kupinjamkan padanya saat mengantarnya pulang di hari ulang tahunku.
Tenang lah! Kau tak perlu gelisah. Cerita ini hampir usai. Kejadian terakhir yang akan menutup cerita ini baru tak lama terjadi. Duduk lah lagi. Kau tidak perlu merasa bersalah atau takut mendengar akhir kisah ini.
Dua bulan lalu, kelas ku dan dia ingin jalan-jalan ke pantai untuk merayakan kelulusan yang sudah di depan mata. Karena tidak banyak yang berkesempatan ikut, akhirnya kita memutuskan untuk naik motor saja. Dia digonceng lelaki lain. Aku pun menggonceng perempuan lain. Ada kecewa di mata ku yang tak kutemukan di matanya.
Barangkali kekecewaan itu lah yang membuatku melampiaskan kesal pada speedometer. Gas ku tarik kencang, dan ku tak peduli pada lekukan jalan. Naas aku tak kuasa mengendalikan setang.
Dentuman keras. Orang-orang datang menghampiri. Kesadaranku pergi dan aku masih sempat melihat perempuan yang duduk di belakang jok motor ku sebagai dirinya. Ku pikir aku bakal mati. Ku pikir kematian adalah melihat penyeselan hidup dan merengek pada Tuhan agar memberi tambahan waktu.
Kemudian, dalam selang waktu yang aku tak tahu pasti berapa lama, aku terbangun dan melihatnya di sisi ranjang. Dia bilang ibuku sebentar lagi datang. Dada ku bergemuruh kencang. Dia khawatir padaku. Dia menungguiku. Dia bahkan menghubungi ibuku.
Dalam kesenangan itu, seorang teman sekelas masuk bersama ibuku. Teman sekelas itu adalah lelaki yang menggoncengnya di waktu kecelakan. Aku menghela nafas berat. Perasaan ku buruk saat dia mengeluarkan kertas tebal berwarna biru dari tasnya.
Ku pikir kau pasti sudah bisa menebak kertas apa itu. Benar. Itu undangan. Atas Namanya dan lelaki itu. Dia bilang padaku untuk tidak memaksakan diri untuk datang kalau kondisiku belum pulih.
Aku mengaminkan. Aku tak datang ke pernikahannya. Aku belum pulih. Tulangku masih ada yang digips, dan hatiku masih belum bisa menerima. Beberapa kali aku hampir bunuh diri. Akhirnya, aku melarikan diri sebelum upacara kelulusan besok. Mencari kegiatan lain yang barangkali dapat menghilangkan dirinya dari benakku.
Jangan menangis! Aku telah pulih. Aku hanya butuh hitungan detik untuk jatuh cinta, tiga tahun untuk memahami mengapa cinta itu tumbuh, dan satu hari untuk patah hati. Dua bulan sepertinya cukup bagiku untuk memulihkan diri.
Oleh karena itu, aku sangat bahagia saat mengetahui bahwa aku bisa bertemu dengannya hari ini. Aku tahu dia menulis. Aku senang dengan penulis, karena itu aku senang saat dia bilang dia akan meluangkan waktu mendengar cerita ku. Para penulis pandai mengatur emosi mereka dan pandai pula bermain makna.
Barangkali sekian ceritaku malam ini. Besok, mari kita bertemu di upacara kelulusan dengan hutang yang telah terbayar lunas.
(Cerpen Matahari) Satu kata, nama yang sudah cukup mewakili doa-doa khusus dan harapan: Matahari. Penikmat kisah-kisah dan mimpi. Alumni Madrasah Sumatera Thawalib Parabek. Anggota CSSMoRA UPI jurusan Teknologi Pendidikan.